Wednesday, April 13, 2011

Perilaku Sosial

Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk individu, disamping itu juga merupakan mahluk sosial. Sebagai mahluk individu, ia unik, memiliki kekhasan masing-masing. Sebagai mahluk sosial, ia tetap bergantung pada lingkungan sosial di sekitarnya. Kelangsungan hidup seseorang sangat dipengaruhi oleh masyarakat sekitarnya.
Di dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup sebagai diri pribadi, manusia tidak dapat melakukannya sendiri, tetapi memerlukan bantuan pihak-pihak lain. Ada saling ketergantungan satu sama lain, dalam upaya memenuhi kebutuhan. Dengan kata lain, kelangsungan hidup manusia berlangsung dalam suasana saling mendukung kebersamaan. Suasana saling ketergantungan itu, merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan manusia. Ibrahim (2001:3) menyatakan, “Perilaku saling bergantung itu disebut perilaku sosial.”
Perilaku seseorang tidak cukup hanya tertuju pada kepentingan diri pribadi. Ia harus mampu bekerja sama, toleran, sabar, tidak mengganggu kepentingan orang lain, murah hati, dan ia diharapkan dapat menerima norma-norma masyarakat, sehingga dapat menjalankan tatanan masyarakat. Chaplin (1975) yang dikutip Ibrahim (2001:4) menjelaskan, “Perilaku sosial yang dipengaruhi oleh kehadiran orang lain, merupakan perilaku kelompok dan perilaku yang berada di bawah kontrol masyarakat.”
Ballachey (1982) yang dikutip Ibrahim (2001:4) mengemukakan, “Perilaku social seseorang itu tampak dalam pola respons antar orang. Perilaku itu dinyatakan dalam hubungan timbal balik antar pribadi.”
Perilaku sosial merupakan sifat yang relatif untuk menanggapi orang lain dengan cara-cara yang berbeda, misalnya ada orang yang memiliki sifat pemurah dalam bekerjasama, atau penyabar dan tenang dalam menanggapi reaksi penolakan yang keras dari pihak lain. Sementara itu ada pula orang yang menunjukkan perilaku bermusuhan, baik dalam ucapan yang menyakitkan perasaan orang atau bahkan tindakan meresahkan orang lain. Semua itu merupakan contoh pola perilaku yang melibatkan interaksi antar individu.
Baron dan Byrne (1991) yang dikutip oleh Ibrahim (2001:5) menjelaskan, “Ada empat kategori utama yang dapat membentuk perilaku sosial seseorang yaitu: 1) perilaku dan karakteristik orang lain, 2) proses kognitif, 3) faktor lingkungan dan 4) tata latar budaya sebagai tempat perilaku dan pemikiran sosial itu terjadi.”
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka dapat dinyatakan bahwa perilaku dan karakteristik orang lain dapat mempengaruhi perilaku sosial seseorang, misalnya jika seseorang biasa bergaul dengan orang-orang yang penyabar, ada kemungkinan sedikit banyak ia akan terpengaruh oleh lingkungan pergaulannya itu. Begitu pula ingatan dan pikiran yang mendasari kesadaran sosial seseorang termasuk keyakinan, ide dan pertimbangannya tentang orang lain berpengaruh terhadap perilaku sosialnya. Misalnya seseorang yang tekun memikirkan bagaimana caranya mengalahkan orang lain dengan cara apa saja dalam upaya meraih kemenangan, maka ia akan cenderung berperilaku sosial seperti itu.
Lingkungan alam kadang kala dapat mempengaruhi perilaku sosial seseorang yang sulit diterima oleh kelompok etnis tertentu. misalnya  seseorang yang berasal dari daerah pelosok terpencil yang biasa berbicara keras dan kasar, tentu berperilaku sosial yang terasa kasar, ketika berada di lingkungan masyarakat yang terbiasa halus dan lembut.
Perilaku sosial seseorang yang berasal dari etnis budaya tertentu mungkin akan terasa aneh atau kurang diterima, ketika ia berada dalam masyarakat yang memiliki budaya lain. Jadi, konteks budaya amat mempengaruhi kecenderungan sosial seseorang.
Di samping itu, aspek biologis yang ada kaitannya dengan perilaku sosial, juga akan berpengaruh terhadap perilaku  sosial dan kepribadiannya. Faktor genetis dan cacat fisik misalnya, mempengaruhi kecenderungan perilaku sosial tertentu. Seseorang yang memiliki kelainan fisik yang tidak lazim sebagai akibat dari faktor genetisnya, cenderung akan memiliki kecenderungan perilaku sosial yang aneh pula. Penyandang cacat, baik cacat fisik, maupun mental, juga bisa memiliki kecenderungan perilaku sosial dan kepribadian yang agak berbeda dibandingkan dengan orang-orang yang normal.
Berbagai bentuk dan jenis perilaku sosial pada diri seseorang, pada dasarnya menyatu dalam keseluruhan kepribadiannya. Perilaku sosial ini muncul, ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Dalam kehidupan berkelompok, biasanya tampak kentara kecenderungan perilaku sosial yang dimiliki oleh para anggotanya. Perilaku   sosial ini perlu dibina ke arah yang positif, bersama-sama dengan aspek-aspek kepribadiannya yang lainnya. Perilaku   sosial ini amat diperlukan dalam proses penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya. Bentuk-bentuk dan jenis perilaku sosial ini, dapat dilihat melalui sifat-sifat dan pola respons antar pribadi. Ibrahim (2001:24) menjelaskan, “Ada 12 sifat respons antar pribadi yang diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yang dapat berubah-ubah yaitu: kecenderungan perilaku peran, kecenderungan perilaku dalam hubungan sosial, kecenderungan perilaku ekspresif.” (bersambung).

Motor Educability

Sinonim dari kata “motor” sering disama artikan dengan gerak (movement), namun sesungguhnya pengertian kedua kata ini berbeda. Seperti yang dijelaskan Mahendra (1996:59) bahwa: “Movement adalah gerak yang bersifat eksternal atau dari luar dan mudah diamati, sedangkan motor adalah gerak yang bersifat internal atau dari dalam, konstan, dan sukar diamati.”
Perilaku motorik dalam dunia olahraga sangat penting untuk diketahui, karena hubungan antara perilaku motorik dan penguasaan gerak dalam olahraga sangat berkaitan erat. Lutan (1988:53) menjelaskan bahwa perilaku motorik meliputi: “1) kontrol motorik (motor control), 2) belajar motorik (motor learning) dan 3) perkembangan motorik (motor development).” Ketiga hal ini disebut sebagai motor behavior atau perilaku motorik. Selanjutnya Barrow & McGee (1978) dalam Nurhasan (2000:107) menerangkan bahwa: “General abilities secara tradisional motor behavior untuk manusia dibagi ke dalam beberapa kategori yaitu: motor capability, motor educability, motor ability, dan motor fitness.”
            Motor educability adalah kemampuan seseorang untuk mempelajari suatu keterampilan gerak yang baru atau new motor skill. Hal ini diperkuat oleh pendapat Clarke (1958:265) tentang motor educability yaitu, “The ease with which an individual learn new skills”. Maksud penjelasan tersebut adalah kemudahan seseorang untuk mempelajari keterampilan baru disebut motor educability. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Lutan (1988:115) bahwa, “Motor educability adalah kemampuan umum untuk mempelajari tugas secara cermat dan tepat.” Kemampuan ini merupakan kemampuan potensial yang menunjukkan cepat tidaknya atau mudah tidaknya seseorang menguasai suatu keterampilan gerak yang baru. Dengan kata lain dapat dinyatakan, kian tinggi tingkat motor educability seseorang maka kian mudah dan cepat orang tersebut menguasai suatu keterampilan yang baru dipelajarinya.
Dalam proses pembelajaran gerak, banyak hal yang harus diperhatikan salah satunya adalah motor educability. Dari konsep ini dapat dilihat kemampuan belajar siswa dalam menguasai pembelajaran gerak yang akan dipelajarinya. Kaitan antara kemampuan seseorang dalam mempelajari suatu gerakan baru berhubungan dengan kemampuan intelegensi seseorang. Hal ini dijelaskan oleh Cloy dan Young dalam Sutresna (2002:84) bahwa, “… is ability to learn motor skills easily and well, it corresponds, in the area of general motor skill, to intelegence in the area of classroom subject.”
Motor educability yang dimiliki seseorang menggambarkan tingkat kemampuan seseorang dalam menerima dan merespon keterampilan baru yang diperolehnya. Makin tinggi tingkat potensial educabilitynya, berarti derajat penguasaan terhadap gerakan-gerakan yang baru makin mudah. Seperti yang dijelaskan Nurhasan (2000:116) bahwa, “Kualitas potensial motor educability akan memberikan gambaran mengenai kemampuan seseorang dalam mempelajari gerakan-gerakan yang baru makin mudah”. Dalam proses belajar gerak, motor educability seseorang turut mendukung tercapainya tujuan dari proses pembelajaran yang akan dipelajarinya.
Dalam belajar keterampilan gerak terjadi perubahan yang bertahap. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Fitts (1964) yang dikutip oleh Lutan (1988:305) yaitu: “Tahap kognitif, Tahap Asosiatif, dan Tahap Otomatisasi”. Artinya dalam belajar keterampilan gerak, perubahan hasil belajar dapat dapat dicermati pada perubahan kemampuan pengetahuan, pemahaman, penerapan suatu teknik permainan dan pengambilan keputusan yang cepat (tahap kognitif). Selanjutnya adalah tahap Asosiatif yaitu tahapan belajar berupa pengorganisasian pola-pola gerakan yang lebih efektif untuk menghasilkan aksi. Tahap Otomatisasi adalah tahap belajar yang menggambarkan kemampuan gerak yang terkontrol. Mahendra dan Ma’mun (1996:96) menjelaskan, “Tahap ini disebabkan oleh meningkatnya otomatisasi dalam analisis indera terhadap pola-pola lingkungan, dimana tanda-tanda yang dini dari suatu permainan dalam suatu cabang olahraga dapat dideteksi dengan cepat dan akurat.”
Seseorang dapat dikatakan mempunyai motor educability yang baik apabila seseorang memperlihatkan penampilan semakin cepat menguasai suatu gerakan dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Berkaitan dengan hal ini, Schmidt dan Wrisberg (2000:10) mengemukakan, “Minimization of energy expenditure” yang berarti mengurangi pengeluaran energi untuk gerakan yang tidak seharusnya dilakukan.
Kualitas motor educability akan memberikan Gambaran mengenai kemampuan seseorang dalam mempelajari gerakan-gerakan yang baru dengan mudah. Semakin seseorang menunjukkan kemudahan ketika menerima gerakan yang baru maka seseorang itu dapat disebut mempunyai tingkat motor educability yang tinggi. Dengan demikian motor educability mempunyai peranan yang penting dalam proses pembelajaran gerak seseorang.
Dalam olahraga, baik guru maupun pelatih misalnya bertugas untuk mengajarkan keterampilan baru atau menyempurnakan yang sudah lazim dikuasai. Maka oleh sebab itu ada beberapa komponen penting dalam motor educability dijelasakan oleh Oxendine yang dikutip Lutan (1988:116) bahwa: “Beberapa komponen motor educability yaitu: (1) ada makhluk hidup yang termotivasi; (2) ada insentif yang menuntun ke arah pemuasan motif-motif tertentu; (3) ada hambatan atau rintangan yang mencegah untuk diperolehnya insentif itu dengan segera; dan (4) ada usaha atau kegiatan dari organisme yang bersangkutan untuk memperoleh insentif itu.”
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa komponen motor educabilty tersebut di atas juga dapat diterapkan dalam belajar motorik. Tujuan yang ingin dicapai harus ditetapkan untuk mengarahkan kegiatan belajar. Faktor motivasi juga penting utuk belajar motorik. Insentif seperti sukses melakukan suatu keterampilan, pengakuan lingkungan terhadap prestasi misalnya merupakan motivasi yang mendorong seseorang untuk mengulang-ulang kegiatannya. Hambatan akan selalu dialami, sehingga kegiatan belajar tak pernah berhenti. Semua makhluk hidup berusaha untuk mengatasi hambatan itu. Tindakan mengatasi hambatan harus dilakukan oleh organisme yang bersangkutan. Oleh karena itu yang paling penting dalam belajar adalah self-activity dan dianggap sebagai komponen untuk memperlancar proses belajar.

Tuesday, April 12, 2011

Teknik Penilaian dalam Pendidikan Jasmani

Seringkali guru dihadapkan pada kata-kata penilaian, evaluasi dan pengukuran dan biasanya ketiga kata-kata tersebut diartikan sama. Kata penilaian dalam bahasa Inggris adalah evaluation yaitu sebagai suatu peristiwa pemberian makna atau menilai. Arikunto (1997:3) menjelaskan: “Terdapat dua langkah di dalam melaksanakan evaluasi yaitu mengukur dan menilai. Mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Pengukuran bersifat kuantitatif. Sedangkan menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik-buruk. Penilaian bersifat kualitatif.”
Ibrahim (1992:3) menjelaskan, “Evaluasi merupakan proses penentuan nilai atau kelayakan data yang terhimpun.” Kemudian Lutan (2000:6) menjelaskan tentang evaluasi sebagai berikut: “Dalam kegiatan apapun akan selalu ada penyimpangan dan kesenjangan antara apa yang direncanakan dan hasil yang diperoleh. Gap itu perlu ditelaah dan dicari penyebabnya. Proses penentuan sebab dan faktor yang menimbulkan kesenjangan antara rencana dan hasil, termasuk proses pelaksanaan, disebut evaluasi dalam konteks pengelolaan suatu program.”
Berdasarkan makna penilaian sebagaimana penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa tujuan atau fungsi penilaian ada beberapa macam. Arikunto (1997:9) menjelaskan sebagai berikut: “1. Penilaian berfungsi selektif (Dengan cara mengadakan penilaian guru mempunyai cara untuk mengadakan seleksi terhadap siswanya). Penilaian itu sendiri mempunyai berbagai tujuan antara lain: 1) Untuk memilih siswa yang dapat diterima di sekolah tertentu, 2) Untuk memilih siswa yang dapat naik ke kelas atau tingkat berikutnya, 3) Untuk memilih siswa yang seharusnya mendapat beasiswa, 4) Untuk memilih siswa yang sudah berhak meninggalkan sekolah, dsb, 2. Penilaian berfungsi diagnostic. (Dengan mengadakan penilaian, sebenarnya guru mengadakan diagnosa kepada siswa tentang kebaikan dan kelemahannya). 3. Penilaian berfungsi sebagai penempatan. (Untuk dapat menentukan dengan pasti di kelompok mana seorang siswa harus ditempatkan, digunakan suatu penilaian). 4. Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan. (Fungsi ke empat dari penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana suatu program berhasil diterapkan).
Slameto (1988:25) menjelaskan sebagai berikut: 1) Penilaian formatif yaitu diarahkan kepada pertanyaan sampai sejauhmana guru telah berhasil menyampaikan bahan pelajaran kepada siswanya. Penilaian ini digunakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan ditujukan untuk memperoleh umpan balik dari upaya pengajaran yang telah dilakukan guru. 2) Penilaian sumatif yaitu penilaian yang diarahkan langsung kepada keberhasilan siswa mempelajari suatu program pengajaran. Biasanya dilakukan pada akhir program pengajaran yang relatif besar. 3) Penilaian penempatan yaitu usaha penilaian untuk memahami kemampuan setiap siswa, sehingga dengan pengetahuan itu dapat menempatkan siswa dalam situasi yang tepat baginya. 4) Penilaian diagnostik yaitu penilaian untuk mendapatkan kelemahan-kelemahan khusus yang dimiliki siswa, juga faktor-faktor yang menguntungkan bagi siswa untuk dapat digunakan dalam mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan penilaian adalah menempatkan siswa pada kelompok yang tepat. Sedangkan fungsi penilaian adalah selektif, diagnostik, penempatan, dan pengukur keberhasilan.
Penilaian formatif dalam pendidikan jasmani dilaksanakan setelah materi pelajaran telah selesai disampaikan kepada siswa dan siswa telah melakukan latihan dalam waktu yang tersedia. Penilaian sumatif dilaksanakan pada setiap akhir semester meliputi seluruh materi pelajaran yang ada pada semester tersebut. Penilaian penempatan dilaksanakan pada setiap pertemuan atau kegiatan belajar mengajar. Hal ini dilakukan dalam rangka membantu siswa sesuai dengan kemampuannya. Melalui penilaian penempatan, siswa akan terbagai menjadi beberapa kelompok yang masing-masing kelompok mendapat perlakuan yang berbeda sesuai tingkat pemahaman dan keterampilannya yang disesuaikan pula dengan tingkat kesulitan materi pelajaran. Penilaian diagnostik dilakukan pada saat guru membutuhkan kelebihan dan kekurangan dari kemampuan atau potensi siswa dalam penguasan materi pelajaran pendidikan jasmani. Dengan informasi ini maka akan mudah bagi guru dan siswa memperbaiki kelemahan dan memanfaatkan kelebihan sebagai nilai positif.
Alat evaluasi yang digunakan dapat digolongkan menjadi 2 macam yaitu tes dan non-tes. Arikunto (1997:23) menjelaskan, “Tes dan non-tes ini disebut sebagai teknik evaluasi.” Mengenai tes sebagai alat evaluasi dijelaskan oleh Lutan (1991:3) sebagai berikut: “Sebuah tes adalah sebuah instrumen yang dipakai untuk memperoleh informasi tentang seseorang atau objek. Yang ingin kita peroleh biasanya tentang atribut atau sifat-sifat yang terdapat pada individu atau objek yang bersangkutan. Informasi yang akan dihimpun itu bisa dijaring dengan observasi, wawancara, angket, atau bentuk lain yang sesuai.”
Arikunto (1997:51) menjelaskan, “Tes merupakan alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan.” Kemudian Arifin (1988:22) menjelaskan, “Tes adalah suatu teknik atau cara dalam rangka melaksanakan kegiatan evaluasi yang di dalamnya terdapat berbagai item atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh siswa, kemudian pekerjaan tersebut menghasilkan nilai perilaku siswa tersebut.”
Sedangkan mengenai teknik non-tes, Arikunto (1997:23) menjelaskan, “Yang tergolong teknik non-tes adalah skala bertingkat (rating scale), kuesioner (questioner), daftar cocok (check-list), wawancara (interview), pengamatan (observation) dan riwayat hidup.”
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tes adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan informasi dan data. Namun informasi dan data yang diperoleh tidak akan berarti apa-apa jika tidak diberikan makna kepadanya. Oleh karena itu melalui evaluasi, pemberian makna terhadap informasi dan data akan lebih terukur dan teramati.
Dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran, seorang guru dapat melakukan berbagai penilaian melalui penggunaan salah satu dari beberapa jenis tes yang ada. Ada baiknya tes yang digunakan adalah tes yang telah memiliki validitas dan reliabilitas yang baik. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Arikunto (1997:54) bahwa, “Tes harus memiliki validitas, reliabilitas, obyektivitas, praktikabilitas dan ekonomis.”
Sebuah tes disebut valid jika tes itu dapat mengukur apa yang hendak diukur. Misalnya untuk mengukur berat badan maka digunakan timbangan, untuk mengukur tinggi badan maka digunakan pita meteran dan untuk mengukur kecepatan benda bergerak maka dapat digunakan salah satunya dengan stop watch.
Kata reliabilitas dalam bahasa Indonesia diambil dari kata reliability dalam bahasa Inggris, berasal dari kata reliable yang artinya dapat dipercaya. (Arikunto, 1997:58). Suatu tes dikatakan dapat dipercaya jika memberikan hasil yang tetap apabila diteskan berkali-kali. Dengan kata lain sebuah tes dikatakan reliable apabila hasil-hasil tes tersebut menunjukkan ketetapan. Misalnya pada tes pertama diperoleh kecepatan berlari jarak 50 meter A adalah 6,50 detik dan pada tes yang kedua diperoleh kecepatan berlari jarak 50 meter A adalah 6,48 detik. Hal ini menunjukkan bahwa alat ukur mempunyai tingkat ketetapan (reliabilitas) yang tinggi, karena dengan alat tersebut dapat diperoleh hasil pengukuran 1 dan 2 yang relatif sama.
Obyektif berarti tidak adanya unsur pribadi yang mempengaruhi. Sebuah tes dikatakan memiliki obyektivitas apabila dalam melaksanakan tes itu tidak ada faktor subyektif yang mempengaruhi. Arikunto (1997:59) menjelaskan, “Apabila dikaitkan dengan reliabilitas maka obyektivitas menekankan ketetapan (consistency) pada sistem scoring, sedangkan reliabilitas menekankan ketetapan dalam hasil tes.”
Sebuah tes dikatakan memiliki praktikabilitas yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis dan mudah pengadministrasiannya. Arikunto (1997:61) menjelaskan, “Tes yang praktis adalah tes yang mudah dilaksanakan, mudah pemeriksaannya, dan dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas sehingga dapat diberikan/diawali oleh orang lain.”
Ekonomis berarti pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan ongkos/biaya yang mahal, tenaga yang banyak dan waktu yang lama.
Obyek atau sasaran penilaian adalah segala sesuatu yang menjadi titik pusat pengamatan karena penilai menginginkan informasi tentang sesuatu yang dibutuhkan. Mengenai obyek penilaian, Arikunto (1997:18) menjelaskan: “1) Input: Kemampuan, Kepribadian, Sikap-sikap, dan Intelegensi, 2) Transformasi: Kurikulum/materi, Metode dan cara penilaian, Sarana pendidikan/media, Sistem administrasi, Guru dan personal lainnya, 3) Output.”
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa obyek evaluasi meliputi berbagai hal seperti sikap-sikap, guru dan personalnya serta out put berupa hasil pembelajaran.
Dalam penilaian hasil belajar siswa dapat dilakukan dengan pendekatan acuan normatif, patokan maupun kombinasi dari keduanya. Nurhasan (2000:301) menjelaskan, “Penguasaan terhadap pendekatan acuan penilaian normatif dan penilaian acuan patokan dalam menilai hasil belajar siswa amatlah penting bagi guru penjaskes atau pelatih olahraga.”
Penilaian acuan normatif disingkat PAN. Mengenai hal tersebut, Nurhasan (2000:303) menjelaskan, “Penilaian acuan normatif adalah penilaian yang dilakukan dengan cara membandingkan hasil pengukuran seseorang siswa terhadap siswa-siswa lain dalam kelompoknya.” Dlam hal ini penilaian yang diberikan terhadap hasil belajar yang dicapai siswa didasarkan pada kemampuan rata-rata siswa dalam suatu kelompok, sehingga makna yang menyertainya dapat bergeser seiring perubahan rata-rata hasil yang dicapai siswa dalam suatu kelompok. Misalnya hasil tes atau pengukuran menunjukkan rata-rata 65 dan salah seorang siswa memperoleh skor 70 maka ia dapat dikatakan mempunyai skor di atas rata-rata namun dalam rentang yang rendah. Sedangkan pada tes berikutnya rata-rata hasil tes adalah 70 dan skor yang diperoleh oleh seorang siswa adalah 70, maka ia berada pada skor rata-rata namun dalam rentang yang cukup.
Penilaian acuan patokan disingkat PAP. Mengenai hal tersebut, Nurhasan (2000:310) menjelaskan, “Penilaian acuan patokan adalah penilaian yang membandingkan hasil belajar siswa kepada patokan yang telah ditetapkan sebelumnya.” Hal ini menegaskan bahwa sebelum penilaian itu dilaksanakan, jauh sebelumnya terlebih dahulu telah ditetapkan patokan yang harus dipakai untuk membandingkan skor-skor dari hasil pengukuran, sehingga skor-skor dari hasil pengukuran tersebut bermakna.
Patokan ditetapkan atas pertimbangan logis mengenai tingkat penguasaan minimum atau biasa disebut “batas lulus”. Para siswa yang mencapai patokan ini dinyatakan lulus, sedangkan para siswa yang belum mencapai “batas lulus” tersebut dinyatakan tidak lulus. Hal ini berarti siswa-siswa tersebut dianggap belum menguasai secara minimum kemampuan tersebut. Dengan demikian bahwa patokan yang digunakan dalam penilaian acuan patokan ini bersifat tetap, berbeda dengan patokan penilaian yang digunakan dalam penilaian acuan normatif yang bersifat relatif. Patokan yang ditetapkan dalam penilaian terhadap para siswa atau kelompok siswa yang berbeda, tetapi dengan mata pelajaran yang sama akan memberikan pengertian yang sama terhadap nilai yang sama. Seperti nilai 70 yang diperoleh A di kelasnya akan mempunyai makna yang sama dengan nilai 70 yang diperoleh B di kelas yang berbeda.
Penilaian acuan gabungan merupakan kombinasi dari penilaian acuan normatif dan patokan. Nurhasan (2000:317) menjelaskan sebagai berikut: “Dalam penerapan penilaian acuan gabungan (PAP dan PAN), dalam pembuatan norma penilaiannya menggunakan dua tahap yaitu tahap pertama menerapkan prosedur penilaian acuan patokan dengan terlebih dahulu menentukan batas minimal skor yang harus dicapai (passing-grade) dan tahap kedua menerapkan prosedur penilaian acuan norma terhadap skor-skor yang berada di atas batas minimal skor yang harus dicapai (passing-grade).”
Peda pembuatan norma penilaian gabungan menggunakan dasar hasil penghitungan rata-rata dan simpangan baku dari skor-skor yang berada di atas passing-grade. Selanjutnya dalam pembuatan norma penilaiannya dapat menggunakan standar penilaian 1 – 10, 10 – 100, atau standar penilaian dengan huruf (A, B, C, D, dan E).

Permainan Bola Basket

Kata dasar dari permainan adalah main. Kata main menurut Poerwadarminta (1984:620) berarti, “Perbuatan untuk menyenangkan hati (yang dilak...