Sunday, February 27, 2011

Menapaki Kebutuhan

Oleh : Ubaydillah, AN

Ada yang mengatakan bahwa kebutuhan adalah sumber penemuan (discovery) yang oleh sebagian teori kreativitas dikatakan bahwa dengan memiliki kebutuhan akan membuat kita selalu terdorong untuk mencari jalan keluar. Oleh Trevor Bentley dalam Sharpen your team’s creativity (1997) pernah ditulis bahwa langkah yang bisa ditempuh agar kita bisa menjalani hidup secara kreatif adalah mendata sejelas mungkin apa saja yang kita butuhkan. Namun perlu diingat, kebutuhan, dapat berperan seperti pisau bermata dua: bisa mendongkrak kemampuan kita, namun bisa juga membuat kemampuan itu mandek, tergantung bagaimana kita me-manage kebutuhan, bukan bagaimana kebutuhan itu me-manage kita.

Kalau sudah bicara "bagaimana" tentu ini tak bisa dipisahkan dari pilihan strategi: apakah kita akan diam saja dan membiarkan diri dikuasai oleh kebutuhan, atau secara aktif menentukan dan mengatasi kebutuhan.


Menapaki Tangga

Abraham Maslow mengemukakan cara bagaimana, menentukan dan mengatasi kebutuhan:

Pertama: memahami tingkatan kebutuhan

Hierarki adalah suatu tatanan bertingkat dari mulai yang paling bawah sampai ke yang paling atas. Menurut Abraham Maslow, hierarki kebutuhan itu terdiri dari:
Kebutuhan fisik dan psikologis atau kebutuhan dasar: pangan, sandang, papan.
Kebutuhan keselamatan dan keamanan (sefety needs)
Kebutuhan keharmonisan / sosial (belongingness and love)
Kebutuhan kehormatan (esteem, the feeling of being valued and respected)
Kebutuhan akan aktualisasi diri

Kedua: Merumuskan ukuran vs kemampuan

Setiap tangga kebutuhan, memiliki lebar - tinggi - luas yang sangat mungkin berbeda antara anak tangga satu dengan anak tangga lainnya. Kita perlu memahami perbedaan tersebut untuk dapat memahami tingkat kesulitannya dan dibandingkan dengan “ukuran� kemampuan kita sendiri serta merencanakan strategi yang jauh lebih efektif untuk dapat menaiki setiap anak tangga dengan selamat. Dengan demikian, menurut Brian Tracy, kita lebih tahu, kapan saat yang tepat untuk menaiki anak tangga yang lebih tinggi.

Ketiga: Ukuran Dinamis

Meskipun hanya lima tetapi kalau lima-limanya bisa kita mainkan dengan dinamis dapat dikatakan sudah bisa menjadi representasi manusia sempurna. Prof. Nurcholis Madjid mendifiniskan bahwa manusia yang sempurna (Insan kamil) itu riilnya tidak ada kalau ukuran kita adalah statis, angka mati atau mutlak. "Manusia sempurna adalah yang selalu berusaha lebih sempurna".

Definisi di atas rasa-rasanya sudah klop kalau kita coba telaah dari hasil temuan Maslow tentang karakteristik orang yag sudah mencapai kemampuan memenuhi kebutuhan di anak tangga kelima (aktualisasi-diri) yang jumlahnya lima belas, yaitu:
Punya persepsi yang sederhana tentang dunia (orang & keadaan),
Menerima diri & orang lain, hubungan intrapersonal-interpersonal yang harmonis
Tidak konformistis (ikutan-ikutan) tetapi memiliki nilai-nilai yang dianut
Mementingkan keinginan ketimbang kekesalan (problem centered)
Punya privasi tetapi tidak merasa kesepian
Self-otonom, bisa memerintah dan melarang dirinya untuk berkembang
Punya kapasitas menghargai kehidupan dan alam
Berpengalaman ketuhanan/ spiritual, bukan hanya beragama
Bisa menempatkan orang lain menurut tata krama kesopanan
Punya hubungan personal yang unik - tak banyak teman tetapi berkualitas
Punya karakter yang demokratis
Bisa membedakan antara jalan dan tujuan (means & ends)
Punya humor tinggi tetapi filosofis - bukan hiburan yang asal-asalan
Punya gaya hidup Kreatif
Mengakui budaya tetapi tidak keracunan budaya (warisan / tradisi)


Masalah yang berpotensi membuat kita mendiami kebutuhan itu bisa disebabkan karena beberapa hal, sedikitnya antara lain:
Kita tidak memiliki tangga sendiri yang spesifik seperti yang disarankan para ahli agar kita merumuskan tujuan hidup menurut kebutuhan dan kapasitas kita. Kalau tangganya tidak spesifik, bukan tidak mungkin pembawaan-naluriyah-manusiawi yang anti-kepuasan ini akan membawa kita larut untuk mendiami kebutuhan berbau fisik. Mengapa? Karena kebutuhan inilah yang paling keras suaranya dan anti kata nanti.
Kita tidak memilih strategi untuk menapaki tetapi memilih mendiami alias memposisikan diri secara mental sebagai akibat dari kebutuhan. Kita baru akan melangkah menaiki tangga kedua atau kelima setelah kita menerima kemujuran dari nasib yang akan membuat kita sudah tidak memikirkan lagi anak tangga yang lain.

Kalau kita rujukkan pada praktek hidup harian, kebutuhan akan pangan (perut), sandang (pakaian), dan papan (tempat tinggal) atau tangga pertama memang syarat mutlak untuk menaiki tangga yang lain tetapi bukan jaminan karena ukurannya jelas berbeda untuk orang yang berbeda. Pendek kata, semua orang berprestasi (aktualisasi diri) memang sudah kenyang perutnya tetapi tidak semua orang yang kenyang perutnya bisa berprestasi. Contoh dalam sejarah pernah dibuktikan oleh Edison kecil. Mungkin untuk menambah uang saku yang masih kurang, Edison pernah bekerja sebagai penjual asongan di kereta tetapi yang berbeda adalah, Edison memiliki tangga yang ingin dinaikinya. Meskipun berjualan, dia tetap melakukan eksperimentasi kimia dan karena tumpah, konon pernah membuat kondektur marah sehingga menempleng telinganya sampai rusak. Selain Edison kita pasti bisa memastikan sudah tak terhitung jumlah anak manusia yang demikian.

Dari petunjuk ajaran ketuhanan juga bisa kita peroleh kesimpulan bahwa yang pada akhirnya akan menentukan di mana langkah kaki ini akan berada adalah bagaimana atau kemana kita mengarahkan penggunaan potensi. Dikatakan bahwa kalau potensi ini hanya kita gunakan untuk mengurusi standar hidup rendah (dunia saja), maka itulah yang akan kita dapatkan. Sebaliknya kalau kita mengarahkan penggunaan potensi (mata pikiranan, telinga kesadaran, atau hati keyakinan) untuk mengurusi standar hidup tinggi (dunia – akhirat) maka itu pulalah yang akan kita dapatkan. Karena persoalan sebenarnya lebih pada penggunaan sehingga dikatakan bahwa kalau kita gelap di kehidupan sekarang akan menjadi lebih gelap lagi di kehidupan nanti.


Proses Belajar

Bagaimana menapaki kebutuhan atau jurus apa saja yang masih mungkin kita lakukan agar kita tidak mendiami kebutuhan secara statis? Sekedar ingin berbagi pengalaman dan hasil pengamatan dari praktek hidup sehari-hari, jurus itu bisa kita pilih dari sekian cara, antara lain:

Pertama: Menumbuhkan kesadaran

Tahapan yang bisa dikatakan syarat multak adalah mengubah muatan mentalitas lama diganti dengan sebuah kesimpulan yang tegas bahwa tidak ada pihak lain siapa pun dan dari manapun yang sanggup menyuruh / melarang kita untuk mendiami atau menapaki tangga kebutuhan selain diri kita. Perut kita hanya sanggup mengelurakan tuntutan dan setelah kita penuhi, pilihan selanjutnya diberikan kepada kita apakah kita hanya akan mengurusinya sepanjang hidup atau kita akan mengurusi secukupnya sebagai modal dasar untuk menaiki anak tangga berikutnya.

Dengan muatan ini kita bisa berharap adanya kesadaran memilih yang muncul dari dalam bahwa kalau semuanya bergantung pada diri kita maka kitalah yang akan menguasai; kita yang akan mendefinisikan seperti apa tangga itu punya ukuran dan bentuk dan kitalah yang akan membuat keputusan kapan langkah ini diam dan bergerak dengan kesadaran. Kesadaran menguasai kebutuhan berarti meletakkan kebutuhan di bawah kaki kita agar kita punya pijakan untuk bergerak maju dan naik.

Kedua: Mendefinisikan Sasaran

Setiap hari kita melakukan sekian ragam aktivitas dan salah satu jurus yang bisa kita gunakan agar aktivitas itu bisa membuat kita menapaki kebutuhan adalah mendifinisikan sasaran (target, atau tujuan). Jurus ini bisa dilakukan dengan gerakan:
Menentukan aktivitas apa saja yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan faktual, pasti, dan sudah terukur secara harian, mingguan atau bulanan (sasaran)
Menentukan aktivitas apa saja yang bisa digunakan untuk meraih keinginan jangka panjang yang belum / baru terwujud sebagiannya hari ini. Kalau kita tidak bisa menciptakan solusi seluruhnya maka yang wajib kita ambil sebagiannya atau minimalnya tidak menambah masalah dengan cara membiarkan keinginan
Menentukan aktivitas apa saja yang bisa digunakan untuk menyelesaikan tantangan, problem atau berbagai bentuk penyimpangan yang muncul setiap hari.

Dengan membagi sasaran sedemikian rupa, kita akan memiliki kemungkinan untuk mendinamiskan langkah setiap hari. Kita tidak hanya terpaku pada kebutuhan, tidak juga terpaku pada penyeselesain masalah atau tidak terpaku pada mencari-cari jalan mewujudkan keinginan sementara kebutuhan dan kelancaran kita terancam. Cara lain bisa kita pilih dari apa yang diajarkan St Francis: "Mulailah dengan menyelesaikan pekerjaan yang anda butuhkan lalu yang anda inginkan dan barulah yang anda cita-citakan".

Ketiga: Membuat Keputusan Dinamis

Setiap hari kita sudah membuat keputusan tentang hidup kita dari pilihan-pilihan yang kita buat. Oleh Jim Rohn dikatakan bahwa nasib seseorang tidak ditentukan oleh change (kemujuran) tetapi ditentukan oleh choice (pilihan) atau keputusan. Meskipun demikian kalau kita telusuri lebih jauh, tidak semua keputusan yang kita buat membuat hidup ini dinamis seperti yang dicontohkan oleh tradisi kenabian yang akrab kita sebut peristiwa "Isro & Miroj". Dilihat dari kamus, Isro artinya menggerakkan kaki di malam hari sedangkan Miroj adalah menaiki tangga yang bertingkat - bukan asal jalan atau jalan-jalan tetapi jalan maju dan naik (menaiki hierarki).

Ibarat orang mengendarai mobil, wajarlah bahkan memang sudah seharusnya kalau kita harus terkadang pelan, ngebut, lurus, belok, mundur, atau terkadang zig-zag karena memang ada kebutuhan untuk itu. Tetapi yang membedakan apakah itu keputusan dinamis atau statis adalah apakah kita mundur untuk maju atau mundur untuk mundur; pelan supaya selamat atau pelan karena malas; lurus karena benar atau lurus karena kebenaran sendiri; belok-belok supaya fleksibel atau belak-belok karena tak punya pendirian.

Belajar dari pengalaman Christopher Reeve tentang bagaimana rasanya menaiki anak tangga itu dari bawah sampai ke atas dikatakan: "Awalnya cita-cita besar itu dipandang tidak mungkin terjadi (Impossible), lalu mungkin (probable), kemudian dan seringkali terjadi". Selamat mencoba.
Jakarta, 03 September 2004

Awas Bahaya Brainwashing

Oleh : Ubaydillah, AN

Ancaman Brainwash
Situs Wikipedia menjelaskan brainwash itu adalah serangkaian proses yang sistematik yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok, dengan metode yang barangkali tidak etis atau manipulatif, untuk merayu pihak lain supaya berjuang mengegolkan keinginan tertentu walaupun harus dengan cara yang menghancurkan pihak yang di-brainwash itu. Dalam proses brainwash, aktivitas yang terjadi antara lain: mengontrol pikiran, mencuci otak, mengkonstruksi ulang pemahaman seseorang, merayu seseorang dengan agak memaksa, menginstall pikiran seseorang dengan ideologi, fakta atau data, dan penjelasan yang sangat intens.

Meski awalnya teknik ini dipakai di dunia militer atau politik dalam mempertahankan regime, tapi pada perjalanannya, wilayah aplikasinya meluas. Banyak temuan yang berhasil mengungkap bahwa di balik aksi kekerasan yang selama ini mengancam kita, misalnya aksi bom bunuh diri dan lain-lain, terdapat keberhasilan proses brainwash yang dilakukan seseorang kepada pihak lain.

Keberhasilan brainwash memang sifatnya tidak instant. Ada upaya sistematik dalam memformulasi cerita atau pemahaman baru dari sebuah kenyataan yang disuguhkan kepada orang dengan ciri-ciri internal (profil psikologis) tertentu sehinga sangat match antara pemicu eksternal dan penentu internal. Dilihat dari karakteristik eksternal yang umum, negara kita termasuk tempat yang tidak sulit-sulit amat untuk melakukan aksi brainwash kepada pemuda untuk melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang banyak. Dari mulai bom bunuh diri, kerusuhan massal, sampai demo anarkis memprotes hasil Pilkada.

Karakteristik eksternal itu misalnya wajah ketidakadilan sosial, penindasan, kesenjangan ekonomi, taraf pendidikan rata-rata penduduk, rendahnya kepercayaan pada pemerintah, wilayah gerak yang sangat luas, perbedaan agama, suku, ras, dan lain-lain. Ini belum lagi ditambah dengan semakin sungkannya pemerintah kita dengan isu HAM dan demokrasi.

Ini semua perlu dijadikan catatan bagi pemuda, orangtua, dan pemerintah. Pemuda perlu mewaspadai berbagai perangkap brainwash. Orangtua juga perlu memonitor kiprah anaknya di luar. Demikian juga pemeritah yang perlu terus mengurangi alasan-alasan kenapa bangsa gue mudah di-brainwash untuk menyerang tanah airnya sendiri.

Mengenali Tabiat Brainwasher
Selain pertanda di muka, aktivitas brainwash juga bisa dikenali dari tabiat dan gelagat orang-orangnya. Yang pertama-tama dilakukan para brainwasher adalah membuldoser konstruksi jatidiri, pemahaman, dan hubungan sosial korbannya, seperti rumah tua yang dirobohkan untuk rencana pembangunan gedung baru.

Tentu ada banyak cara bagaimana proses pembuldoseran itu dilaksanakan. Misalnya antara lain dengan mengeksploitasi berbagai kelemahan, kesalahan, kebodohan, dan ketidakberdayaan korban atau hal-hal negatif lainnya. Misalnya saya ingin mem-brainwash orang dari alasan agama, maka yang akan saya lakukan adalah membuktikan betapa banyaknya dosa orang itu, betapa sesatnya dia, dan seterusnya. Dengan asumsi bahwa orang itu sudah sering nangis-nangis depan saya, meminta hidayah dari saya, atau pendeknya sudah powerlessfull, maka saya mulai melakukan penawaran, seperti ahli bangunan yang menawarkan rancangan konstruksinya ke calon klien.

Sebagai brainwasher, tentu saya tidak serta merta akan menyetujui apa maunya klien. Saya akan minta syarat. Syarat yang umum biasanya antara lain: taat secara penuh, always Yes, mau mengisolasikan diri agar hubungannya dengan orang lain terputus dan mulai mengontrol hidup orang itu. Misalnya saya membuatkan rencana, agenda, dan membekalinya dengan logika yang sesuai dengan kepentingan saya.

Untuk memastikan pembuldoseran itu sukses, saya perlu menciptakan kondisi hubungan yang manipulatif. Misalnya, kalau dia mempertanyakan sesuatu, segera akan saya katakan dia keras kepala. Tapi kalau diam saja, akan saya katakan tidak kreatif. Jika dia curhat, akan saya katakan cengeng. Tapi kalau tidak mau curhat, akan saya katakan menyimpan kemunafikan. Dan seterusnya dan seterusnya.

Setelah pembuldoseran dan rekonstruksi dipastikan sukses, barulah saya mulai menggunakan jurus terakhir, dengan memujinya sebagai orang kuat, hebat, dan sudah layak untuk berbuat sesuatu. Tentu saya sudah menyiapkan agenda mengenai apa yang pas dilakukan orang itu sebagai simbol kekuatan, kemuliaan, kesetiaan, kesucian, dan lain-lain.

Jika jurus terakhir ini meragukan saya, cara lain yang akan saya lakukan adalah memperpanjang masa kebingungan, frustasi, dan ketidakberdayaan korban hingga dia siap untuk marah terhadap keadaan. Ketika amarah sudah memuncak, tentu saya akan lebih mudah mengarahkan dia melakukan sesuatu demi kepentingan saya.

Meski dalam tulisan ini bisa dijelaskan secara simpel bagaimana proses brainwash itu berlangsung, tetapi dalam prakteknya tidak semua orang bisa melakukannya dengan sukses. Ada orang-orang tertentu yang sepertinya secara talenta dibekali skill yang bagus untuk mem-brainwash orang lain.

Terlepas alasan yang dipakai itu agama, sosial, atau apapun, tapi umumnya orang itu punya approach yang lembut, tahu siapa yang bisa, dan tahu apa yang perlu disembunyikan dan apa yang perlu dinyatakan. Selain itu, dia juga “pede” (percaya diri) untuk memimpinorang lain.

Siapa yang Paling Mudah Di-brainwash?
Siapakah yang paling mudah / berpotensi kena untuk di-brainwash? Dalam prakteknya, tentu tidak mudah untuk dijabarkan secara akurat dan definitif. Penjelasan di bawah ini hanya bisa dipakai petunjuk untuk mengantisipasi agar kita tidak mudah dijadikan incaran praktek brainwash untuk melakukan aksi brutal.

Jika mengacu ke istilah dalam psikologi, yang berpotensi kena di-brainwash adalah orang yang disebutnya dengan istilah mengalami mental illness, yang terjemahan kasarnya adalah penderita penyakit mental. Istilah ini memang agak sulit ditemukan definisinya yang pas dan bisa diterima di semua standar sosial dengan kriteria yang utuh. Secara umum, kita bisa menyebutnya abnormal.

Yang termasuk mudah terkena lagi adalah orang dengan kepribadian bermasalah (personality disorder). Bentuknya antara lain:
1. Kemampuannya sangat rendah untuk mengatasi masalah secara baik, masa bodoh dengan akibat perilakunya, atau suka melakukan kenekatan yang gila
2. Mudah meledak pada tingkatan yang sangat membahayakan (explosive)
3. Diam-diam tapi menyimpan gejolak yang membayakan (passive-aggressive)
4. Kaku, menyimpan dendam, dan sempit, dengan tuntutan yang kuat agar orang lain dan dunia ini harus berjalan sesuai ego-nya
5. Punya masalah hubungan sosial, isolasi diri, sulit menerima perbedaan, atau toleransinya rendah
6. Lainnya lagi adalah orang dengan tingkat protes atau sikap pemberontakan yang tinggi namun dalam taraf yang tidak sehat (patologis), ketahanan mentalnya rendah, mudah putus asa yang membuat dia sering berpikir “mati saja”.

Bila semua karakteristik di atas mendapatkan jodoh dari faktor eksternal yang sangat memicu, apinya gampang tersulut. Misalnya, merasa pernah diperlakukan tidak adil, hidupnya semakin susah, nothing to lose, jarang bertemu dengan orang / kelompok yang mencerahkan jiwanya atau mengembangkan kapasitasnya.

Akan lebih sempurna ledakannya apabila didukung dengan pendidikan yang rendah, status sosial yang termarjinalkan, dan makin banyaknya khutbah atau ceramah yang mengajak massa untuk marah kepada kenyataan tanpa diiringi dengan saran-saran yang bijak untuk menyikapi kenyataan secara kuat dengan logika yang didukung otak.

Supaya Tidak Mudah Terkena Brainwash
Apa ada orang yang kebal terhadap brainwash orang lain? Di teorinya, kita bisa menjawabnya secara hitam-putih. Tapi, dalam prakteknya, ini tidak jelas. Artinya, semua orang dapat berpotensi kena brainwash, terlepas ada yang mudah atau ada yang sulit.

Supaya kita tidak mudah terkena brainwash orang lain yang mengajak kita melakukan aksi pengrusakan yang nekat, latihan yang perlu kita lakukan antara lain:
Pertama, sebelum perasaan atau reaksi, berpedomanlah pada nilai-nilai personal, sosial atau universal yang sudah ditanam sejak kecil. Kita perlu berlatih untuk menjadikan ajaran, prinsip, atau nilai-nilai sebagai penggerak tindakan. Jangan melulu menuruti perasaan reaktif, pemahaman benar sendiri, atau kepentingan pribadi atau kelompok, meski ini terkadang tetap harus kita lakukan sebagai bukti bahwa kita bukan robot.

Kedua, berlatih menjadi orang yang toleran dan fleksibel. Tak berarti kalau kita keras dan anti toleransi itu kuat. Seringkali malah mudah patah ketika dihadapkan pada problem atau kenyataan. Kalau tidak patah, kita bisa membabi buta. Misalnya kita keras terhadap pemahaman keagamaan tertentu. Jika kerasnya itu melebihi batas, mungkin kita malah akan melanggar nilai-nilai agama. Supaya kita bisa toleran dan fleksibel, latihannya adalah memperluas dan mem-variatifkan pergaulan agar gesekan terjadi.

Ketiga, terbuka, tidak pernah fanatik terhadap pemikiran, konsep, sistem, atau paradigma berpikir yang lahir dari proses kreatif manusia. Kita hanya perlu fanatik pada nilai etika universal, semacam kejujuran, tanggungjawab, dan semisalnya, yang jumlahnya sedikit. Hasil proses kreatif manusia itu perlu kita gunakan sebagai referensi atau alat yang kita pilih untuk menghadapi keadaan tertentu yang bisa berubah kapan saja.

Banyak aksi kekerasan yang berlatar belakang paham agama karena pelakunya gagal membedakan mana yang wahyu dan mana yang hasil “proses kreatif” pemimpin agamanya. Fanatik terhadap konsep manajemen profesor anu, malah membuat kita tidak bernilai manajemen. Fanatik terhadap sistem demokrasi malah membuat kita tidak bernilai demokrasi. Fanatisme yang salah membuat kita sengsara sendiri.

Keempat, memperkuat logika hidup, dalam arti gunakan otak secara kritis dan analitis. Ini hanya bisa dilatih ketika kita semakin tersambung hubungan kita dengan diri sendiri, misalnya kita tahu apa tujuan kita, jalur hidup kita, nilai-nilai kita, orang yang pas untuk kita, apa yang kita perjuangkan, masalah kita, dan seterusnya. Jika kita blank terhadap diri sendiri, logika hidup kita gampang jebol atau gampang larut.

Kelima, berani mengatakan “TIDAK” pada ajakan, himbauan, saran, nasehat, pendekatan yang oleh akal sehat kita aneh, yang ciri-cirinya sudah kita singgung di muka.

Ciri Brainwash Yang Baik
Meski di berbagai literatur sudah dikatakan dengan jelas bahwa brainwash itu menggunakan teknik yang kurang etis dan manipulatif, tetapi mungkin dalam prakteknya ada yang bisa kita sebut brainwash, namun tetap etis dan tidak manipulatif. Sebut saja ini bahasa sosial yang keliru. Ciri fundamental yang dapat kita pedomani antara lain:
· Jika itu mengedukasi kita. Edukasi berarti membuat kita menjadi diri sendiri dalam bentuk dan kualitas yang lebih bagus, bukan menghancurkan diri kita atau menjadikan kita sebagai korban ego-nya.
· Jika itu menolang kita, dengan motif yang memang untuk menolong, misalnya membantu kita dari jeratan narkoba. Bila orang itu memanipulasi motifnya, manfaatkan saja pertolongannya atau Anda menolak pertolongannya
· Jika itu mengembangkan kapasitas positif kita, misalnya ilmu, network, pengalaman, wawasan, pemahaman, dan seterusnya. Banyak ceramah agama, orasi sosial, atau kampanye politik yang hanya mengajak kita marah terhadap kenyataan, namun dianya sendiri tidak sedikit pun mau berkorban mengembangkan kapasitas positif kita. Kalau kita mengikutinya, kita sendiri yang salah. Anggap saja itu jualan atau bualan.
· Jika itu mengajak kita mentaati perintah Tuhan, prinsip, atau nilai-nilai yang kebenarannya diterima akal sehat seluruh dunia, bukan mengajak kita mengikuti ego, nafsu, ambisi pribadinya.

Semoga bermanfaat.
Jakarta, 21 Mei 2010

Membangun Kesiapan Mental Pada Atlet

Oleh : Pudji Susilowati, S.Psi

Beberapa waktu lalu, atlet-atlet kita berjuang untuk memperebutkan piala Thomas dan Uber Cup. Sayangnya tim Thomas dan Uber kita belum berhasil. Tentunya, kegagalan ini menyisakan kekecewaan dan tanda tanya pada sebagian besar masyarakat kita, mengapa team andalan kita kalah. Namun di setiap kejadian pasti ada hikmahnya, karena kita harus belajar dan menganalisa di mana letak kelemahan yang perlu dikelola dan diperbaiki.

Keberhasilan seorang atlet ditentukan oleh kesiapan fisik dan mental. Kondisi psikis atau mental akan mempengaruhi performance atlet baik saat latihan maupun saat bertanding. Coba Anda bayangkan, jika sebelum bertanding sang atlet mengalami cek cok berat dengan keluarganya, amat mungkin jika situasi itu mempengaruhi kestabilan emosi, daya konsentrasi dan menguras energi. Contoh lain, jika sebelum bertanding sang atlet kurang memiliki kesiapan mental menghadapi lawan yang berat sehingga timbul keraguan yang besar dan rasa tidak percaya diri yang menghalangi kemampuannya untuk tampil optimal.

Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika sejak dini, soal membina kesiapan mental atlet menjadi porsi yang penting agar masalah kepribadian dan konflik-konflik sang atlet dapat dikelola dengan baik sehingga ia tetap tampil optimum.


Pentingnya Kesiapan Mental Bagi Atlet

Stress sebelum bertanding adalah hal yang lumrah, namun mampu mengelola stress atau tidak adalah sebuah kemampuan yang harus ditumbuhkan. Stress bisa jadi pemicu semangat dan motivasi untuk maju, namun stress berlebihan bisa berdampak negatif. Tanpa kesiapan mental, sang atlet akan sulit mengubah energi negative (misal, yang dihasilkan dari keraguan penonton terhadap kemampuan sang atlet) menjadi energi positif (motivasi untuk berprestasi) sehingga akan menurunkan performancenya (dengan gejala-gejala sulit berkonsentrasi, tegang, cemas akan hasil pertandingan, mengeluarkan keringat dingin, dll). Bahkan sangat mungkin jika sang atlet terpengaruh oleh energi negatif para penonton.


Faktor penentu
Urusan energi dan emosi begitu signifikan dampaknya bagi prestasi dan penampilan sang atlet, sementara kita tidak bisa mensterilkan atlet dari masalah yang datang dan pergi dalam kehidupannya. Namun jika ditelaah, rupanya menurut Nasution (2007) ada beberapa faktor yang menentukan mudah tidaknya seorang atlet terpengaruh oleh masalah.

1. Berpikir positif
Bisa atau tidaknya seorang atlet berpikir positif, bisa mempengaruhi mentalitasnya di lapangan. Kemampuan menemukan makna dari tiap peluang, event, situasi, serta orang yang dihadapi adalah cara untuk menimbulkan pikiran positif. Sering terdengar bahwa pemain A atau B tidak terduga bisa memenangkan pertandingan padahal targetnya adalah berusaha main sebaik mungkin. Alasannya, karena lawannya bagus dan pertandingan ini jadi moment penting untuk meng up grade kualitas diri dan permainannya. Artinya, sang atlet mampu melihat sisi lain yang membuat dirinya tidak terbebani ambisi. Pikiran rileks dan focus pada permainan berkualitas akhirnya mempengaruhi sikap atlet tersebut saat bertanding dimana ia jadi berhati-hati dan cermat dalam proses, dan tidak grasah grusuh ingin cepat-cepat mencetak skor.

Jadi, pikiran positif bisa menggerakkan motivasi yang tepat, sehingga mengeluarkan besaran energi dan tekanan yang tepat untuk menghasilkan tindakan konstruktif. Dampaknya bisa beragam, bisa kerja sama yang baik, performance yang optimum, atau pun kemenangan.

2. Motivasi
Tingkat motivasi dan sumber motivasi atlet akan mempengaruhi daya juangnya. Kalau kurang termotivasi, otomatis daya juangnya pun kurang. Kalau highly motivated, maka daya juangnya juga tinggi. Kalau sumber motivasi ada di luar (ekstrinsik), maka kuat lemahnya daya juang sang atlet pun sangat situasional, tergantung kuat lemah pengaruh stimulus. Contoh, makin besar hadiahnya, makin kuat daya juangnya. Makin kecil hadiahnya, makin kecil usahanya.

Yang paling baik jika sumber motivasi ada di dalam diri, tidak terpengaruh cuaca apalagi iming-iming hadiah. Atlet yang memiliki motivasi berprestasi tinggi, maka sejak awal berlatih dia sudah secara konsisten dan persisten mengusahakan yang terbaik. Kepuasannya terletak pada keberhasilannya untuk mencapai yang terbaik di setiap tahap proses latihan, bukan hanya saat bertanding. Masalah yang ada pasti punya pengaruh, namun selama motivasi internalnya kuat, atlet tersebut mampu untuk sementara waktu menyingkirkan beban emosi yang dirasa memperberat gerakannya.

3. Sasaran yang jelas
Mengetahui sejauh mana dan setinggi apa sasaran yang harus dicapai, mempengaruhi tingkat daya juang, usaha dan kualitas tempur atlet. Sementara, ketidakpastian bisa melemahkan motivasi. Ketidakpastian ini bentuknya beragam. Kalau tidak jelas siapa musuhnya, sasarannya, medan perangnya, tingkat kesulitannya, targetnya, waktunya, akan membuat sang atlet kebingungan dan energi nya juga tidak fokus, strategi nya pun tidak spesifik dan standar kualitas nya jadi tidak bisa ditentukan, bisa terlalu rendah bisa juga terlalu tinggi. Dalam keadaan membingungkan seperti ini, atlet jadi sangat rentan terhadap masalah.

4. Pengendalian emosi
Ketidakmampuan mengendalikan emosi bisa mengganggu konsentrasi dan keseimbangan fisiologis. Pengendalian emosi tidak bisa muncul dalam semalam, karena sudah menjadi bagian dari kepribadian atlet. Hal ini bukan berarti tak bisa dirubah, namun perlu proses untuk mengembangkan kemampuan mengelola emosi dengan proporsional. Jadi, kalau atlet tersebut masih punya masalah dalam pengendalian emosi, maka dia lebih mudah terstimulasi oleh berbagai masalah apapun bentuknya, entah itu kelakuan penonton / supporter, sikap pelatih, tindakan teman-temannya, dsb.

5. Daya tahan terhadap stress
Jika tingkat stres berada di atas ambang kemampuan sang atlet dalam memanage stresnya maka akan mengakibatkan prestasi atlet menurun, namun jika tingkat stres berada dibawah ambang maka atlet tidak akan termotivasi untuk berprestasi. Jika tingkat stres berada pada level toleransi kemampuannya maka atlet akan mampu berprestasi.

5. Rasa percaya diri
Kurangnya rasa percaya diri akan mempengaruhi keyakinan dan daya juang sang atlet. Masalah yang muncul saat berlatih maupun bertanding bisa saja memperlemah rasa percaya dirinya, meski sang atlet sudah berlatih dengan baik. Apalagi jika masalah yang dihadapi berkaitan dengan konsep dirinya. Misalnya, sang atlet selalu memandang dirinya kurang baik, kurang sempurna, maka seruan "uuuuuu" penonton bisa dianggap konfirmasi atas kekurangan dirinya, meskipun pada kenyataannya atlet tersebut tergolong berprestasi.

6. Daya konsentrasi
Atlet yang punya kemampuan konsentrasi tinggi, cenderung mampu mempertahankan performance meski ada gangguan, interupsi atau masalah. Kalau daya konsetrasi atlet rendah, maka ia mudah melakukan kesalahan jikalau terjadi interupsi baik saat latihan maupun pertandingan.

7. Kemampuan evaluasi diri
Kemampuan evaluasi ini juga diperlukan untuk melihat hubungan antara masalah dengan performance-nya. Tanpa kemampuan untuk melihat ke dalam, atlet akan terjebak dalam masalah dan kesalahan yang berulang.

8. Minat
Jika si atlet memang memiliki minat yang tinggi pada cabang olahraga yang dipilihnya maka ia akan melakukan olahraga tersebut sebagai suatu kesenangan bukan sebagai beban.

9. Kecerdasan (emosional dan intelektual)
Kecerdasan emosional dan intelektual merupakan elemen yang dapat memproduksi kemampuan berpikir logis, obyektif, rasional serta memampukannya mengambil hikmah yang bijak atas peristiwa apapun yang dialami atau siapapun yang dihadapi.


Faktor-faktor tersebut di atas menjadi PR bagi setiap atlet dan bukan semata-mata PR pelatih karena justru faktor tersebut berkaitan erat dengan dunia internal sang atlet. Keberadaan pelatih sangat penting, namun kemauan dan usaha keras pihak atlet lebih menentukan tingkat keberhasilan maupun prestasinya. Inisiatif untuk memperbaiki diri atau mengembangkan sikap mental positif lebih terletak pada atlet dari pada pelatih. Bagaimana pun juga, perubahan yang dipaksakan dari luar, hasilnya tidak efektif, malah bisa menimbulkan problem serius.


Peran pelatih dalam membina kesiapan mental atlet
Tidak ada jalan pintas untuk membina kesiapan mental seseorang termasuk atlet, dan tidak ada jalan pintas bagi atlet untuk sampai pada prestasi puncak. Perlu kerja sama yang baik antara atlet dengan Pembina atau pelatihnya. Menurut Karyono (2006), pelatih diharapkan menjadi konselor yang mampu memahami karakter atlet asuhannya dan bisa memberikan bimbingan yang konstruktif terutama untuk membangun kesiapan dan kekuatan mental. Beberapa hal yang dibutuhkan oleh atlet:

1. Giving encouragement than criticism
Sikap dan kata-kata pelatih most likely akan didengar dan dipercaya oleh atlet asuhannya. Jika pelatih mengatakan atletnya buruk, lemah, payah, bisa ditunggu dalam beberapa waktu kemudian kemungkinan atlet tersebut akan lemah dan payah. Meski pelatih dituntut untuk tetap jujur dalam memberikan opini dan penilaian, namun hendaknya opini dan penilaian tersebut sifatnya obyektif dan rasional, bukan emosional. Kata-kata kasar yang bersifat melecehkan atau menghina, lebih menjatuhkan moral daripada menggugah semangat.

2. Respect
Relasi yang sehat antara pelatih dan atlet jika di antara keduanya ada sikap saling menghargai. Pelatih memotivasi, menempa mental dan skill ke arah pengembangan diri atlet. Kemampuan untuk menghargai, membuat hubungan antara keduanya tidak bersifat manipulative, saling memanfaatkan. Terkadang tanpa sadar, atlet memanfaatkan pelatih maupun bakatnya sendiri untuk ambisi yang keliru dan pelatih juga menggunakan atlet sebagai extension of her/his image. True respect, mendorong pelatih untuk tahu apa kebutuhan sang atlet; dan mendorong atlet untuk menghargai eksistensi pelatih sebagai orang yang mendukungnya mencapai aktualisasi diri.

3. Realistic Goal
Sasaran realistik harus ditentukan dari awal supaya baik pelatih dan atlet, bisa menyusun break down planning & target. Sasaran harus menantang tapi realistis untuk dicapai. Sasaran yang tidak realistik bisa membuat atlet minder, inferior, atau jadi terlalu percaya diri, overestimate self karena terlalu yakin dirinya sanggup dan pantas untuk jadi juara.

4. Problem Solving
Siapapun bisa terkena masalah, baik pelatih maupun atletnya. Pelatih yang bijak mampu mendeteksi perubahan sekecil apapun dari atlet asuhannya yang bisa mempengaruhi kestabilan emosi, konsentrasi dan prestasi. Perlu pendekatan yang tulus untuk membicarakan kendala atau problem yang dialami atlet supaya bisa menemukan sumber masalah dan mencari penyelesaian yang logis. Jika sang atlet punya masalah dalam mengendalikan kecemasan sebelum bertanding, maka pelatih bisa mengajaknya menemukan sumber kecemasan dan mengajarkan untuk berpikir logis dan rasional. Pelatih bisa memotivasi atlet mengingat momen-momen paling berkesan yang dialaminya dan me review proses yang mendorong keberhasilan di masa lalu. Selain itu, relaksasi progresif (relaksasi otot) dan latihan pernafasan juga bermanfaat menurunkan ketegangan.

5. Self awareness
Atlet perlu dibekali cara-cara pengendalian emosi yang sehat supaya ia bisa me-manage kesuksesan maupun kegagalan secara rasional dan proporsional. Ketidakmampuan me-manage kesuksesan bisa membuat atlet lupa daratan karena self esteemnya melambung, sementara kegagalan bisa membuat atlet depresi karena melupakan kemampuan aktualnya. Oleh sebab itu, atlet juga perlu didorong untuk mengenal siapa dirinya, mengetahui dimana kelemahan dan kelebihannya secara realistik, dan memahami di mana titik rentan diri yang perlu di kelola dengan baik. Jika atlet punya pengenalan diri yang proporsional, ia cenderung lebih aware dan prepare terhadap berbagai kemungkinan yang bisa terjadi.

6. Managing stress and emotion
Managing emotion juga terkait erat dengan pengenalan diri. Atlet yang bisa mengenal dirinya, akan tahu kecenderungan reaksinya dan dampak dari emosinya terhadap diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, pelatih perlu berdiskusi bersama atletnya, hal-hal apa saja yang membuat atlet-atletnya merasa senang, marah, sedih, cemas, dll dan mengenalkan alternative pengendalian emosi. Pengendalian emosi yang sehat, akan mengembangkan ketahanan terhadap stress karena tidak ada penumpukan emosi yang membebani diri dan membuat energy bisa digunakan untuk hal-hal yang produktif.

7. Good interpersonal relation
Hubungan baik dan tulus, jujur dan terbuka antara atlet dan pelatih, bisa memotivasi atlet secara positif. Rasa tidak percaya, tidak mau terbuka, jaim (jaga image), akan mendorong hubungan kearah yang tidak sehat di antara kedua belah pihak. Sikap terbuka dan jujur ini hendaknya sejak awal di tunjukkan oleh pelatih sebagai role model bagi para atlet binaannya. Mengkomunikasikan tujuan, harapan, kritikan (konstruktif), masukan, perasaan, pendapat, kendala bahkan terbuka terhadap kekurangan dan kelebihan diri sendiri akhirnya bisa jadi budaya positif yang membantu para atlet membangun sikap mental positif.


Bagaimana pun juga, menang atau kalah merupakan hal yang biasa dalam sebuah pertandingan. Oleh karenanya, setiap pelatih perlu mentransfer tidak hanya keahlian dan ketrampilan namun juga sikap mental yang benar. Punya keahlian namun tidak didukung sikap mental yang dewasa salah-salah bisa membawa dampak yang tidak diharapkan. Semoga dengan pembahasan ini, baik dari pihak atlet maupun pelatih sama-sama melihat pentingnya membangun sikap mental yang kuat untuk mendukung prestasi atlet di lapangan, maupun dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Mari kita beri support atlet-atlet kita! Semoga bermafaat. Maju terus atlet Indonesia!

Jakarta, 23 Juni 2008

Daftar Pustaka

Karyono, 2006. Sang Juara Harus Dicetak. Majalah Psikologi Plus, Edisi Juli 2006.

Nasution, Y. (2007) Latihan Mental Bagi Atlet

Permainan Bola Basket

Kata dasar dari permainan adalah main. Kata main menurut Poerwadarminta (1984:620) berarti, “Perbuatan untuk menyenangkan hati (yang dilak...