Tuesday, May 26, 2009

Pengaruh Metode Interval Intensif Terhadap Kemampuan Dinamis Aerobik Dalam Olahraga Renang Gaya Bebas

A. Hakikat Olahraga Renang
Gerakan dalam renang merupakan salah satu gerakan tertua di dunia. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Murni (1999:1) bahwa, “Di samping gerakan-gerakan jalan, lari, lompat, lempar, dan memanjat maka renang termasuk gerakan tertua di dunia.”
Jika melihat ke belakang, yaitu beberapa abad yang lampau terutama pada zaman pra-sejarah, di mana manusia saat itu dituntut untuk mempertahankan hidupnya dengan memanfaatkan dan memberdayakan potensi diri dan lingkungan. Beberapa upaya untuk mempertahankan diri di tengah berlakunya hukum rimba, di mana manusia hidup berkelompok-kelompok dan saling menguasai untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Oleh karena itu mereka dituntut untuk menguasai beberapa keterampilan seperti keterampilan berburu, berperang, dan berenang.
Dalam perkembangannya berenang tidak saja sebagai salah satu keterampilan yang digunakan untuk mempertahankan hidup seperti zaman dahulu, tetapi sudah bergeser menjadi suatu aktivitas yang dapat ditujukan untuk pendidikan, rekreasi, prestasi, dan rehabilitasi. Berkaitan dengan hal ini, Haller (1982:8) menjelaskan:

Renang bukan saja merupakan olahraga, tetapi juga merupakan sarana untuk mengisi waktu luang. Anda dapat berenang demi kesenangan sendiri, tetapi anda juga dapat berlatih untuk berenang semakin lama semakin cepat sampai akhirnya anda dapat ikut serta bertanding dan memenangkan pertandingan nasional ataupun internasional.

Renang merupakan salah satu cabang olahraga yang memasyarakat, baik di daerah pedesan maupun perkotaan. Hampir sebagian besar masyarakat menggemari olahraga renang. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pengunjung kolam renang di setiap kolam renang.
Renang sebagai salah satu cabang olahraga prestasi, menempati kedudukan yang penting terutama dalam suatu even olahraga yang bersifat menyeluruh seperti Porprov, PON, Sea Games, Asian Games dan Olympiade. Hal ini dikarenakan nomor yang dipertandingkan dalam olahraga renang relatif banyak, sehingga memungkinkan untuk menetapkan olahraga renang sebagai lahan pengumpulan medali.
Pada umumnya dalam pembelajaran renang perlu diperhatikan beberapa hal, Murni (1999:13) menjelaskan sebagai berikut:

1. Prinsip mekanika
2. Prinsip psychologis
3. Pengenalan air
4. Renang gaya bebas
5. Renang gaya punggung
6. Renang gaya kupu-kupu
7. Renang gaya dada

Berdasarkan penjelasan di atas maka dalam proses pembelajaran renang ditinjau dari prinsip mekanika perlu memperhatikan segi hidrodinamika seperti ikan dan kapal di air, dan aerodinamika seperti burung dan pesawat di udara. Murni (1999:13) menjelaskan:

Pada prinsipnya tinjauan dari gerak maju kapal di air dan pesawat di udara adalah untuk memperbesar daya angkat, memperkecil tenaga penghambat, dan memperbesar tenaga penggerak. Begitu juga pada renang bila menginginkan daya laju yang optimal tentunya prinsip-prinsip ini harus dapat diterapkan dengan baik.
Secara psikologis, faktor-faktor kejiwaan yang harus dikembangkan dalam pembelajaran renang diantaranya memberikan kegembiraan, rasa senang, keberanian, dan rasa percaya diri. Murni (1999:19) menjelaskan sebagai berikut:

Prinsip-prinsip psychologis yang harus dikembangkan terhadap diri anak didik dalam mengikuti pembelajaran renang agar penguasaan materi lebih efektif dan efisien, yaitu: a) memupuk rasa senang terhadap olahraga renang, b) memupuk keberanian, c) meningkatkan rasa percaya diri, d) meningkatkan ketekunan.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa renang merupakan salah satu olahraga yang dapat ditujukan untuk pendidikan, rekreasi, prestasi dan rehabilitasi. Dalam proses pembelajaran renang, maka perlu diperhatikan beberapa aspek yaitu biomekanika dan psikologis.

B. Renang Gaya Bebas
Renang gaya bebas merupakan gaya yang paling disukai oleh para perenang, mulai dari anak-anak sampai dewasa dikarenakan renang gaya bebas selain paling populer dari gaya yang lain, gaya bebas juga merupakan gaya yang paling mudah untuk dipelajarinya. Berkaitan dengan hal ini, Thomas (2003:13) menjelaskan: “Gaya bebas merupakan gambaran mengenai berenang. Gaya ini merupakan gaya yang tercepat dan berdasarkan gaya ini pula kehebatan anda akan bernilai.”
Renang gaya bebas menyerupai cara berenang seekor binatang, oleh sebab itu disebut gaya crawl yang artinya merangkak. Gaya bebas ini sering disebut dengan nama rimau (harimau) dan ada pula yang menyebutnya sebagai gaya anjing (dog style).
Tyler (2000:14) membagi teknik renang gaya bebas menjadi empat tingkat dengan bidang-bidang pemusatannya sebagai berikut: “Sikap tubuh, gerakan kaki, gerakan lengan, bernapas, dan koordinasi gerak.” Penjelasan dan uraian mengenai empat bidang tersebut dijelaskan oleh Tyler (2000:14-19) sebagai berikut:

1. Posisi Tubuh
a. Kedudukan tubuh perenang berada dalam keadaan tengkurap, sikap melintang, lengan lurus di atas kepala “mengambang seperti kayu”
b. Garis permukaan air pada kepala anda berada tepat di atas alis mata
c. Seluruh tubuh sedatar mungkin dalam air
2. Gerakan Kaki
a. Kaki secara bergantian digerakkan ke atas dan ke bawah
b. Menendang, gerakannya dimulai dari pangkal paha dan meneruskannya hingga ke jari kaki
c. Lutut dan pergelangan kaki jangan membengkok terlalu besar
d. Jari-jari kaki harus secara wajar mengarah ke dalam, saling berhadapan
3. Gerakan Tangan
a. Tubuh harus dalam keadaan tengkurap dengan kedua tangan menjulur ke atas kepala
b. Fase/tahap gerak, menarik, dimulai dengan salah satu lengan melakukan gerak “menangkap” dan selanjutnya ditarik ke bawah
c. Lengan yang lain lurus di atas kepala
Ada empat tingkatan gerak menarik lengan: 1) menangkap dengan telapak tangan ke arah kaki, 2) meraih, 3) menarik ke arah belakang sepanjang bidang hayal melalui garis pertengahan tubuh, sambil menjaga sikut tetap di atas permukaan air, 4) mendorong air ke arah belakang hingga lengan berada dalam posisi lurus, dengan ibu jari dalam kedudukan menyentuh paha. Dengan demikian kita akan lihat bahwa kedua tangan kita akan tetap pada posisi yang berlawanan antara yang satu dengan yang lainnya.
4. Bernapas dan Koordinasi Gerak
a. Bernapas
- Bernapas dilakukan dengan memutar bukan mengangkat kepala ke samping sampai cukup untuk membebaskan mulut di atas permukaan air, ini dilakukan pada saat lengan pada posisi siap mengambil napas
- Kepala berputar kembali hingga posisi alis mata, pada saat yang sama dengan berakhirnya sikap pemulihan
- Sebelum setiap kali harus mengeluarkan napas melalui mulut dan hidung, sebelum memutar kepala
b. Koordinasi Gerak
Gerakan kaki biasanya menghasilkan tendangan dengan enam hitungan yang berarti ada tiga gerakan tendangan ke bawah untuk satu tarikan lengan.
Mengenai gerakan lengan pada renang gaya bebas dapat dilihat pada gambar di bawah ini:











Gambar 1.2
Menangkap Air dengan Telapak Tangan ke Arah Kaki




















Gambar 2.2
Meraih











Gambar 3.2
Menarik Air ke Arah Belakang










Gambar 4.2
Mendorong Air ke Arah Belakang
C. Hakikat Latihan
1. Pengertian
Prestasi maksimal yang diraih oleh setiap atlet bukan datang dengan tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses yang sistematis dan terarah. Proses yang dimaksud adalah aktivitas rutin dengan memberdayakan potensi melalui dukungan berbagai fasilitas yang dilaksanakan secara bertahap sampai tercapainya tujuan. Aktivitas rutin yang dimaksud adalah latihan, karena setiap hari atlet diberikan tugas-tugas fisik maupun psikis yang dilaksanakan secara berulang-ulang dan semakin lama semakin berat beban tugasnya. Berkaitan dengan latihan, Harsono (1988:101) menjelaskan, “Latihan adalah suatu proses yang sistematis dari berlatih atau bekerja, yang dilakukan secara berulang-ulang, dengan kian hari kian menambah jumlah beban latihan atau pekerjaanya.” Gunarsa (1989:6) mengatakan bahwa, “Latihan adalah proses yang bertahap, berulang-ulang serta disesuaikan dengan kondisi perorangan.” Supartono (1989:18) menjelaskan, “Latihan adalah perencanaan suatu proses pengembangan kemampuan berolahraga yang bersifat multi-kompleks yang berisi materi, metode dan pengorganisasian pengukuran sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditentukan.”
Sedangkan Giriwijoyo (1992:78) mengemukakan:


Latihan adalah upaya sadar yang dilakukan secara berkelanjutan dan sistematis untuk meningkatkan kemampuan fungsional raga yang sesuai dengan tuntutan penampilan cabang olahraga itu, untuk dapat menampilkan mutu tinggi cabang olahraga itu pada aspek kemampuan dasar maupun pada aspek kemampuan keterampilannya.

Berdasar pada penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa latihan merupakan suatu proses yang sistematis dari suatu kegiatan, yang dilakukan secara berulang-ulang, dengan kian hari kian menambah jumlah beban / tugas untuk mencapai tujuan tertentu.
Latihan yang dilakukan oleh atlet meliputi beberapa dimensi atau aspek yaitu fisik, teknik, taktik dan mental. Keempat aspek tersebut penting dalam upaya pencapaian tujuan secara maksimal. Hal ini didasarkan pada kemampuan teknik, taktik dan mental atlet yang baik jika tidak didukung oleh kemampuan fisiknya, maka cenderung tidak akan dapat berlangsung lama dalam pertandingan, karena akan mengalami kelelahan yang berlebihan sehingga secara otomatis akan mengganggu kemampuan teknik. Jika fisik dan teknik terganggu, maka strategi apapun akan sia-sia dan mental pantang menyerah pun akan menjadi percuma, yang pasti penampilan dan prestasi menjadi kurang optimal. Hal ini berarti pula bahwa keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang saling menentukan dalam mencapai tujuan secara maksimal. Berkaitan dengan pengertian keempat aspek tersebut, penulis menyimpulkan pendapat Harsono (1988) adalah sebagai berikut:
1. Latihan fisik (physical training) adalah latihan untuk memperkembang kemampuan fisik baik secara menyeluruh maupun spesifik.
2. Latihan teknik (technical training) adalah latihan untuk mempermahir gerakan yang diperlukan dalam suatu cabang olahraga.
3. Latihan taktik (tactical training) adalah latihan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan interpretasi atau daya tafsir pada atlet dalam pertandingan.
4. Latihan mental (psychological training) adalah latihan yang lebih menekankan pada perkembangan kedewasaan dan emosional atlet dalam menghadapi tekanan fisik dan psikis pertandingan.
Penjelasan di atas menggambarkan betapa pentingnya keempat aspek latihan tersebut dalam kerangka pembinaan atlet secara menyeluruh. Keempat aspek tersebut memberikan peranan yang relatif besar terhadap pencapaian tujuan/hasil.

1) Aspek Fisik
Aspek kondisi fisik merupakan aspek yang paling mendasar bagi pengembangan aspek-aspek lainnya dan memberikan peranan yang sangat penting dalam pencapaian suatu prestasi olahraga. Hal ini dijelaskan oleh Harsono (1988:153) bahwa, “Sukses dalam olahraga sering menuntut keterampilan yang sempurna dalam situasi stress fisik yang tinggi, maka semakin jelas bahwa kondisi fisik memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan prestasi atlet.”
Moeloek (1984:12) menyatakan bahwa, “Peningkatan yang diperoleh dari latihan fisik dapat dilihat antara lain berupa peningkatan kemampuan gerak, tidak cepat merasa lelah, peningkatan keterampilan (skill) dan sebagainya.” Kemudian Sajoto (1988:16) mengemukakan, “Kondisi fisik adalah salah satu persyaratan yang sangat diperlukan dalam usaha peningkatan prestasi seorang atlet bahkan dapat dikatakan sebagai keperluan yang tidak dapat ditunda-tunda atau ditawar-tawar lagi.”
Beberapa penjelasan di atas menegaskan bahwa latihan kondisi fisik merupakan bagian yang paling mendasar dalam usaha meningkatkan prestasi atlet. Oleh karena itu dalam proses pelatihan cabang olahraga perlu adanya penekanan pada aspek fisik dengan tidak mengenyampingkan kondisi-kondisi lainnya seperti teknik, taktik dan mental.
Mengenai komponen-komponen kondisi fisik oleh Setiawan (1991:112) dijelaskan, “Unsur pokok kondisi fisik itu adalah: 1) daya tahan jantung-pernafasan-peredaran darah, 2) kelentukan persendian, 3) kekuatan, 4) daya tahan otot, 5) kecepatan 6) agilitas, dan 7) power.” Kemudian Giriwijoyo (1992:44) mengemukakan sebagai berikut:

… komponen-komponen itu sesungguhnya terdiri dari:
o komponen anatomical fitness: body composition,
o kondisi kesehatan statis: biological function,
o komponen physiological fitness yang terdiri dari:
- kemampuan/kualitas dasar ES I:
1.
kekuatan dan daya tahan ototmuscle strength
2. muscle explosive power
3. muscle endurance
4. flexibility
5. reaction time
6. coordination
7. balance
- kemampuan/kualitas dasar ES II:
1. endurance
- kemampuan penampilan yang merupakan gabungan dari berbagai kemampuan/kualitas dasar ES I:
1. speed
2. agility

Beberapa pendapat tersebut di atas terlihat adanya kesamaan mengenai komponen-komponen kondisi fisik. Dengan demikan dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen fisik itu terdiri dari kekuatan, kecepatan, kelentukan, daya tahan dan gabungan dari beberapa komponen tersebut.
Dalam proses pelatihan kondisi fisik perlu memperhatikan tuntutan fisik dari cabang olahraganya. Oleh karena cabang olahraga yang menjadi objek penelitian ini adalah olahraga renang, maka komponen kondisi fisik yang dilatih pun sesuai dengan tuntutan cabang olahraga renang itu sendiri, yaitu daya tahan, stamina dan power. Harsono (1988:204) menjelaskan, “Komponen fisik beberapa anggota tubuh yang diperlukan dalam cabang olahraga renang adalah kelentukan punggung, power lengan, kekuatan otot tungkai, daya tahan otot tungkai, dan kelentukan otot tungkai.”

2) Aspek Teknik
Kemampuan dalam teknik dasar suatu cabang olahraga menggambarkan tingkat keterampilan dalam cabang olahraga tersebut. Indikator yang dapat diamati adalah penguasan teknik dasar cabang olahraganya. Seseorang dinyatakan terampil dalam suatu cabang olahraga, apabila ia dapat menguasai teknik-teknik dasar cabang olahraga tersebut dengan sempurna. Hal ini berarti aspek teknik meliputi keterampilan seseorang dalam suatu cabang olahraga.
Keterampilan diterjemahkan dari istilah skill yang dalam dunia olahraga ditandai dengan adanya aktivitas fisik yang bukan saja melibatkan otot-otot besar, melainkan juga melibatkan otot-otot halus dalam melakukan gerakan. Aktivitas keterampilan dalam olahraga berbeda-beda antara satu cabang olahraga dengan cabang olahraga lain.
Beberapa pendapat tentang keterampilan dikemukakan oleh para ahli, diantaranya, Davis (1995:231) mendefinisikan keterampilan sebagai, “Suatu kemampuan yang dipelajari untuk meningkatkan hasil sebelumnya dengan usaha maksimal.” Lutan (1988:94) menjelaskan, “Keterampilan dipandang sebagai satu perbuatan yang merupakan sebuah indikator dari tingkat kemahiran, juga dapat dinyatakan untuk menggambarkan tingkat kemahiran seseorang melaksanakan suatu tugas.” Gallahue (1989:408) mengemukakan:

Tipe keterampilan olahraga dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: 1) keterampilan eksternal (external paced skill), keterampilan ini melibatkan respon-respon lingkungan yang berubah-ubah sehingga sulit diprediksi, dan 2) keterampilan internal (internaly paced skill), keterampilan yang tidak terpengaruh oleh kondisi lingkungan dengan sasaran yang tetap.

Lutan (1988:96) menjelaskan, “Seseorang dapat dikatakan terampil atau mahir ditandai oleh kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu dalam kualitas yang tinggi (cepat atau cermat) dengan tingkat keajegan yang cukup mantap.”
Dalam proses pelatihan teknik perlu memperhatikan tuntutan teknis dari cabang olahraganya. Oleh karena cabang olahraga yang menjadi objek penelitian ini adalah olahraga renang, maka aspek-aspek teknis yang dilatih pun sesuai dengan tuntutan cabang olahraga renang itu sendiri, seperti teknik entry, pull, push, dan recovery.

3) Aspek Taktik
Dalam suatu pertandingan, atlet sering dihadapkan pada suatu kondisi yang menuntut atlet mengambil alternatif yang paling baik dalam menghadapi lawan, artinya atlet harus mampu mengatasi tekanan pertandingan dengan menerapkan suatu taktik agar lawan tidak dapat berbuat banyak dan tidak dapat melakukan serangan yang berbahaya. Taktik atau strategi tersebut didasarkan pada kemampuan lawan, kemampuan atlet, dan tujuan yang ingin dicapai. Tjiptono (1997:3) menjelaskan sebagai berikut: “1) Strategi dapat didefinisikan sebagai program untuk menentukan dan mencapai tujuan organisasi dan mengimplementasikan misinya, dan 2) didefinisikan sebagai pola tanggapan atau respon organisasi terhadap lingkungannya sepanjang waktu.”
Dalam proses pelatihan taktik perlu memperhatikan tuntutan strategi dari cabang olahraganya. Oleh karena cabang olahraga yang menjadi objek penelitian ini adalah olahraga renang, maka aspek-aspek strategis yang dilatih pun sesuai dengan tuntutan cabang olahraga renang itu sendiri, seperti kemampuan individual serta melakukan simulasi ataupun perlombaan baik dengan sesama anggota tim.
4) Aspek Mental
Aspek mental sering kurang mendapat perhatian dalam pelatihan, karena dianggap kurang berpengaruh dalam penampilan atlet. Padahal beberapa literatur menyatakan bahwa para ahli makin menyadari bahwa faktor non-fisik akan besar pengaruhnya terhadap prestasi atlet untuk dapat memenangkan pertandingan.
Pada umumnya kondisi psikologis atlet sebelum pertandingan cenderung labil, karena mereka dihadapkan pada “harapan untuk sukses” dan “ketakutan akan gagal”. Harapan dan ketakutan tersebut secara langsung akan mempengaruhi penampilan atlet. Setyobroto (1989:42) menjelaskan, “Apabila emosi atlet tergugah dengan hebat akan terjadi sesuatu gangguan terhadap fungsi-fungsi intelektualnya, yang berakibat penampilan atau permainan atlet menjadi kacau.”
Masalah-masalah psikologis yang sering dihadapi atlet terindikasi oleh perilaku yang berubah dari biasanya, seperti rasa cemas yang berlebihan (anxiety). Masalah kecemasan tersebut secara teoritis sering dihadapi oleh atlet sebelum dan saat pertandingan, bahkan merupakan salah satu penyebab kegagalan atlet/tim.
Dalam proses pelatihan mental perlu memperhatikan tuntutan psikologis dari cabang olahraganya. Oleh karena cabang olahraga yang menjadi objek penelitian ini adalah olahraga renang, maka aspek-aspek mental yang dilatih pun sesuai dengan tuntutan cabang olahraga renang itu sendiri, yaitu persaingan dalam menempuh jarak tertentu dalam waktu yang cepat, membutuhkan kerja keras, sehingga tuntutan ini sering menimbulkan kecemasan, kurang percaya diri, terlalu percaya diri, emosional dan sebagainya.


2. Prinsip-Prinsip Latihan
Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam rangka meningkatkan kemampuan dan prestasi atlet adalah penerapan prinsip-prinsip latihan dalam pelaksanaan program latihan. Hal ini disebabkan prinsip-prinsip latihan merupakan faktor yang mendasar dan perlu diperhatikan dalam pelaksanaan suatu program latihan. Harsono (1991:83) menyatakan:

Agar prestasi dapat meningkat, latihan harus berpedoman pada teori dan prinsip latihan. Tanpa berpedoman pada teori dan prinsip latihan yang benar, latihan seringkali menjurus ke praktek mala-latih (mal-practice) dan latihan yang tidak sistematis-metodis sehingga peningkatan prestasi sukar dicapai.

Prinsip latihan yang dimaksud dalam penelitian ini berdasar pada beberapa kajian, baik fisiologik, psikologik maupun pedagogik. Berikut ini akan dibahas secara makro mengenai prinsip-prinsip latihan yang mengacu dari beberapa sumber yaitu Harsono (1988), Setiawan (1990), Soekarman (1989) sebagai berikut:

a. Berdasarkan kajian Fisiologik
Kajian fisiologik dimaksudkan bahwa latihan harus dapat meningkatkan kemampuan kerja atau fungsi faal dari tubuh sehingga tubuh dapat bekerja secara efektif dan efisien. Prinsip-prinsip latihan yang berkaitan dengan aspek fisiologis diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Prinsip Pemanasan Tubuh (warming-up principle)
Pemanasan tubuh penting dilakukan sebelum berlatih. Tujuan pemanasan ialah untuk mempersiapkan fungsi organ tubuh guna menghadapi kegiatan yang lebih berat dalam hal ini adalah penyesuaian terhadap latihan inti.


2) Prinsip Beban Lebih (overload principle)
Sistem faaliah dalam tubuh pada umumnya mampu untuk menyesuaikan diri dengan beban kerja dan tantangan-tantangan yang lebih berat. Selama beban kerja yang diterima masih berada dalam batas-batas kemampuan manusia untuk mengatasinya dan tidak terlalu berat sehingga menimbulkan kelelahan yang berlebihan, selama itu pulalah proses perkembangan fisik maupun mental manusia masih mungkin, tanpa merugikannya. Jadi beban latihan yang diberikan kepada atlet haruslah cukup berat dan cukup bengis namun realistis yaitu sesuai dengan kemampuan atlet, serta harus dilakukan berulang kali dengan intensitas yang tinggi. Harsono (2004:9) menyatakan, “Beban latihan yang diberikan kepada atlet haruslah secara periodik dan progresif ditingkatkan.”

3) Prinsip Sistematis (systematic principle)
Latihan yang benar adalah latihan yang dimulai dari kegiatan yang mudah sampai kegiatan yang sulit, atau dari beban yang ringan sampai beban yang berat. Hal ini berkaitan dengan kesiapan fungsi faaliah tubuh yang membutuhkan penyesuaian terhadap beratnya beban yang diberikan dalam latihan. Dengan berlatih secara sistematis dan dilakukan berulang-ulang, maka organisasi-organisasi sistem persyarafan dan fisiologis akan menjadi bertambah baik, gerakan yang semula sukar akan menjadi gerakan yang otomatis dan reflektif.

4) Prinsip Intensitas (intensity principle)
Perubahan-perubahan fungsi fisiologis yang positif hanyalah mungkin apabila atlet dilatih melalui suatu program latihan yang intensif yang dilandaskan pada prinsip overload dimana secara progresif menambah beban kerja, jumlah pengulangan serta kadar intensitas dari pengulangan tersebut. Harsono (2004:11) menyatakan, “Intensitas yang kurang dari 60%-70% dari kemampuan maksimal atlet tidak akan terasa training effect-nya (dampak/manfaat latihannya).”

5) Prinsip Pulih Asal (recovery principle)
Harsono (2004:11) menyatakan, “Perkembangan atlet bergantung pada pemberian istirahat yang cukup seusai latihan agar regenerasi tubuh dan dampak latihan bisa dimaksimalkan.” Dalam hal ini atlet perlu mengembalikan kondisinya dari kelelahan akibat latihan dengan istirahat.

b. Berdasarkan kajian Psikologik
Kajian psikologik dimaksudkan bahwa latihan harus dapat meningkatkan kondisi mental atau kejiwaan atlet sehingga dapat bekerja secara efektif dan efisien dalam menghadapi suatu tekanan psikologik pertandingan. Prinsip-prinsip latihan yang berkaitan dengan aspek psikologik diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Prinsip Partisipasi Aktif
Prinsip ini mengisyaratkan bahwa atlet merupakan subjek yang paling menentukan tercapainya prestasi. Dalam hal ini keterlibatan atlet secara aktif dalam proses penetapan tujuan dan sasaran latihan bersama pelatih sangat dibutuhkan. Peran pelatih bagi atlet adalah membantu atlet mencapai tujuan dan sasaran latihan yang sudah ditetapkan. Hal ini berarti atlet itu sendiri mempunyai peranan yang menentukan terhadap pencapaian sasaran. Dengan kata lain atlet harus selalu aktif dalam setiap latihan dan menunjukkan keseriusannya untuk mencapai tujuan latihan.




2) Prinsip Variasi Latihan
Latihan dalam jangka waktu yang lama sering menimbulkan kejenuhan bagi atlet, apalagi program latihan yang dilaksanakan bersifat jangka panjang. Oleh karena itu, latihan harus dilaksanakan melalui berbagai macam variasi sehingga beban latihan akan terasa ringan dan menggembirakan. Apalagi variasi latihan yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan. Harsono (2004:11) menyatakan, “Untuk mencegah kebosanan berlatih, pelatih harus kreatif dan pandai menerapkan variasi-variasi dalam latihan.”

3) Prinsip Kesadaran
Prinsip ini didasarkan pada tujuan dan sasaran yang harus dicapai oleh atlet, baik dalam latihan maupun pertandingan. Dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, maka atlet harus memiliki kesadaran tentang kemampuan dirinya dan target yang harus dicapai. Oleh karena itu dalam penetapan tujuan dan sasaran harus melibatkan atlet sehingga terdapat kesesuaian antara kemampuan dan sasaran.

4) Prinsip Istirahat Mental
Adakalanya kelelahan seorang atlet lebih banyak disebabkan ketegangan mental dibandingkan dengan tingkat kelelahan secara fisik. Seorang atlet memanfaatkan istirahat setelah aktivitas untuk meringankan beban pikirannya dari latihan atau pertandingan. Selain istirahat sebaiknya atlet diberikan waktu berlibur untuk beberapa saat. Faktor ini bisa menjadi bagian penting dari proses pemulihan.

c. Berdasarkan kajian Pedagogik
Kajian pedagogik dimaksudkan bahwa latihan harus dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku ke arah yang lebih baik khususnya aspek kognitif. Prinsip-prinsip latihan yang berkaitan dengan aspek pedagogik diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Prinsip Perencanaan dan Penggunaan Sistem
Prinsip ini didasarkan pada pentingnya perencanaan dan sistematika pelaksanaan latihan, sehingga penilaian terhadap hasil kegiatan menjadi terukur dan teramati. Melalui perencanaan yang matang dengan pertimbangan berbagai faktor dan aspek-aspek yang akan mempengaruhi hasil latihan, maka pelaksanaan suatu program latihan relatif akan berjalan dengan lancar. Tugas dan beban latihan disusun melalui sistematika yang benar, yaitu dari hal yang sederhana sampai ke hal yang komplek atau dari latihan yang ringan sampai ke latihan yang berat. Prinsip ini juga menuntut bahwa perencanaan harus menyeluruh, seksama, dan sesuai dengan kebutuhan atlet.

2) Prinsip Pentahapan (periodisasi)
Prinsip ini didasarkan pada penetapan sasaran yang dilakukan secara bertahap mulai dari sasaran jangka pendek, sasaran antara dan sasaran jangka panjang. Melalui pembagian sasaran ini, maka perlu dilakukan pentahapan dalam latihan agar pelaksanaan program latihan dapat memenuhi target-target yang ditetapkan. Pentahapan program latihan biasanya meliputi masa persiapan umum, persiapan khusus, masa pra-pertandingan, pertandingan utama dan masa transisi. Harsono (2004:18) menyatakan, “Pentahapan adalah proses membagi-bagi program latihan tahunan dalam tahap-tahap latihan yang lebih kecil. Tujuannya adalah agar program jangka panjang bisa dikelola dalam segmen-segmen kecil sehingga kemungkinan untuk mencapai puncak prestasi di pertandingan utama tahun itu bisa terwujud.”

3. Norma-Norma Pembebanan
Norma-norma pembebanan latihan meliputi volume, intensitas, interval dan densitas. Adapun pembahasan mengenai norma-norma pembebanan adalah sebagai berikut:
a. Volume
Dalam suatu latihan biasanya berisi drill-drill atau bentuk-bentuk latihan. Isi latihan atau banyaknya tugas yang harus diselesaikan ini disebut volume latihan. Tentang hal ini oleh Chu (1989:13) dijelaskan, “Volume is the total work performed is single work at session or cycle”. Sedangkan mengenai pentingnya volume latihan oleh Bompa (1993:57) dikatakan, “As an athlete approaches the stage of high performance, the overall volume training becomes more important”. Hal ini mengisyaratkan bahwa setiap latihan harus memperhatikan volume latihan selain dari intensitas latihannya.

b. Intensitas
Intensitas latihan oleh Moeloek (1984:12) dijelaskan, “Intensitas latihan menyatakan beratnya latihan”. Kemudian Chu (1989:13) menyatakan, “Intensity is effort involved in performing a given task”. Jadi intensitas latihan adalah besarnya beban latihan yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu.
Untuk mengetahui suatu intensitas latihan atau pekerjaan adalah dengan mengukur denyut jantungnya. Cara mengukur intensitas ini oleh Harsono (1988:115) dijelaskan, “Intensitas latihan dapat diukur dengan berbagai cara, diantaranya mengukur denyut jantung (heart rate)”. Selanjutnya Katch dan McArdle yang dikutip oleh Harsono (1988:116) menjelaskan:

1. Intensitas latihan dapat diukur dengan cara menghitung denyut jantung/nadi dengan rumus: denyut nadi maksimum (DNM) = 220 – umur (dalam tahun). Jadi seseorang yang berumur 20 tahun, DNM-nya = 220 – 20 = 200.
2. Takaran intensitas latihan
a. Untuk olahraga prestasi: antara 80%-90% dari DNM. Jadi bagi atlet yang berumur 20 tahun tersebut takaran intensitas yang harus dicapainya dalam latihan adalah 80%-90% dari 200 = 160 sampai dengan 180 denyut nadi/menit.
b. Untuk olahraga kesehatan: antara 70%-85% daari DNM. Jadi untuk orang yang berumur 40 tahun yang berolahraga menjaga kesehatan dan kondisi fisik, takaran intensitas latihannya sebaiknya adalah 70%-85% kali (220 – 40), sama dengan 126 s/d 153 denyut nadi/menit.
Angka-angka 160 s/d 180 denyut nadi/menit dan 126 s/d 153 denyut nadi/menit menunjukan bahwa atlet yang berumur 20 tahun dan orang yang berumur 40 tahun tersebut berlatih dalam training sensitive zone, atau secara singkat biasanya disebut training zone.
3. Lamanya berlatih di dalam training zone:
a. Untuk olahraga prestasi: 45 – 120 menit
b. Untuk olahraga kesehatan: 20 – 30 menit


c. Interval
Masa pulih atau recovery dari setiap penyelesaian suatu tugas adalah hal yang perlu diperhatikan karena menyangkut kesiapan tubuh umumnya dan otot-otot khususnya untuk menerima beban tugas berikutnya. Mengenai masa pulih ini, Brittenham yang diterjemahkan oleh Soepadmo (1996:12) menjelaskan sebagai berikut:

Adaptasi fisik terhadap perkenaan terjadi pada saat istirahat, karena pada waktu itu tubuh membangun persiapan untuk gerakan berikutnya. Maka istirahat yang cukup akan memberikan hasil yang maksimal. Jika anda terlalu giat berlatih dan tidak memberikan kesempatan tubuh beristirahat diantara tiap sesi latihan, maka anda akan mengalami kelelahan atau bahkan kemunduran.



d. Densitas
Densitas merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kekerapan latihan dan merupakan frekuensi latihan yang dilakukan, diselingi waktu istirahat atau bisa disebut pula dengan kepadatan latihan, seperti 3 set @ renang jarak 25 m = 75 m, jadi kepadatannya adalah 75 m.

D. Hakikat Latihan Hipoksik dengan Metode Interval Intensif
Hipoksik merupakan suatu kondisi kekurangan oksigen. Hipoksik berasal dari kata “hipoxia” yang berarti penyaluran oksigen rendah ke jaringan tubuh. Jadi latihan hipoksik adalah suatu latihan yang mengkondisikan atlet untuk mengalami kekurangan oksigen.
Proses metode hipoksik secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut: ketika menarik nafas/menghisap lower-oxygen udara, otak bereaksi terhadap perubahan ini dan menginstruksikan badan untuk meningkatkan ventilasi berkenaan dengan paru-paru dan produksi sel darah merah. Sel darah merah mengirimkan oksigen kepada jaringan-jaringan yang tergabung dengan bahan gizi untuk menghasilkan energi.
Pelatihan hipoksik telah populer beberapa tahun terakhir di negara-negara maju. Penggunaannya berkaitan dengan upaya peningkatan kemampuan kerja otot dengan dukungan oksigen yang relatif kecil. Hasil penelitian yang dilakukan beberapa ahli seperti Hollmann dan Leisen (1973), Craig (1978) dan Dicker (1980) melaporkan bahwa pengurangan tingkat nafas akan mengurangi suplay oksigen dan sebagainya, yang akan meningkatkan kemampuan aerobik dan anaerobik.
Mengenai manfaat pelatihan hipoksik dijelaskan oleh Giriwijoyo, dkk. (2006:6) sebagai berikut:
- Mengefektifkan dan meningkatkan sistem cardio-pulmonary dan meningkatkan daya tahan dan kekuatan sampai dengan 40%.
- Pada otot spesifik yang dilatih dalam Hypoxics Room System, dapat meningkatkan penyerahan oksigen untuk daya tahan dan power ekstra
- Meningkatkan ventilasi berkenaan dengan paru-paru dan jumlah sel darah merah, menambah kesehatan secara menyeluruh
- Latihan hypoxic dapat mengurangi waktu latihan yang berharga sampai 50%
- Latihan hypoxic menjadikan sistem penyerahan oksigen ke dalam otot menjadi lebih efisien

Berkaitan dengan penelitian ini yaitu pelatihan renang hipoksik dengan metode interval intensif terhadap kemampuan dinamis aerobik, maka pelaksanaan program latihannya ditekankan pada pengurangan suplay oksigen pada setiap stroke, yaitu setiap 4 / 6 / 8 x stroke tahan nafas. Intensitas latihan sebesar 80 – 95%. Waktu istirahat 5 menit/repetisi dan 8 – 10 menit/set. Volume latihannya 500 meter – 900 meter.
Metode latihan interval adalah suatu metode latihan dimana jarak, waktu, istirahat, dan repetisi telah ditentukan, atau disebut juga dengan variabel-variabel latihan yang telah ditetapkan, atau suatu bentuk latihan yang diselingi dengan jarak istirahat yang telah ditetapkan.
Metode latihan interval awal mulanya banyak dilakukan oleh pelari-pelari jarak jauh. Adanya perkembangan ilmu pengetahuan yaitu diadakan penelitian dan percobaan, maka latihan interval memiliki keistimewaan yaitu perhatian yang besar pada faktor istirahat.
Proses istirahat mulai timbul setelah perubahan yang berhubungan dengan kelelahan mencapai suatu tingkatan tertentu. Istirahat terlalu pendek dapat menimbulkan kelelahan organisme yang kronis dan tidak mengembangkan fungsi organ tubuh yakni jantung, paru-paru, peredaran darah dan otot serta syaraf. Tetapi istirahat yang terlalu lama atau melampaui waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan dapat menghambat perkembangan organ tubuh tersebut.
Mengenai latihan dengan metode interval intensif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Intensitas latihan. Intensitas latihan ini antara 80% – 95%.
2. Volume latihan. Volume latihan ini tergantung dari tingkat intensitas latihan yang dilakukan, karena metode ini intensitasnya tinggi maka repetisinya sedikit.
3. Istirahat. Intensitas yang dilakukan dalam latihan ini tinggi, maka istirahatnya harus panjang.
4. Lamanya latihan. Lamanya beban latihan relatif pendek karena intensitas yang tinggi. Untuk cabang olahraga renang dapat diimplementasikan sesuai dengan waktu tempuh 15 – 75 detik terhadap jarak tempuh.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan hipoksik dengan metode interval intensif merupakan suatu metode yang menekankan pada pengurangan suplay oksigen pada saat beraktivitas latihan, sehingga dengan pengeluaran energi yang relatif kecil diharapkan memperoleh hasil yang baik-baiknya.




E. Hakikat Kemampuan Dinamis Aerobik
Dinamis sering diartikan sebagai suatu keadaan yang bergerak, sedangkan aerobik diartikan sebagai penggunaan oksigen. Jadi kemampuan dinamis aerobik dapat diartikan sebagai suatu kemampuan bergerak dengan penggunaan oksigen tertentu. Kaitannya dengan penelitian ini adalah kemampuan perenang dalam menggunakan oksigen sekecil mungkin dan dapat bergerak dengan cepat sampai jarak tertentu tanpa mengalami kelelahan yang berarti.
Aktivitas yang termasuk dalam kategori aerobik biasanya dilakukan dalam waktu lama, energi yang digunakan adalah glukogen otot dan lemak. Metabolisme yang terjadi lebih dominan pada proses pembakaran lemak dalam jumlah besar. Oleh karena waktu yang digunakan dalam aktivitas aerobik relatif lama, maka dibutuhkan daya tahan otot dan umum untuk mendukung aktivitas tersebut.
Dalam olahraga yang dimaksud dengan daya tahan adalah kemampuan melawan kelelahan pada beban kerja otot yang berlangsung lama dan kemampuan untuk pulih kembali dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Mengenai daya tahan, Setiawan (1991:97) menyatakan, “Daya tahan adalah kemampuan seseorang untuk melakukan kerja dalam waktu yang relatif lama.” Kemudian Ateng (1992:66) menyatakan: “Daya tahan respirasi-cardiovascular mengacu pada kemampuan seseorang untuk meneruskan kontaksi (submaksimum) yang berlanjut lama, yang menggunakan sejumlah kelompok otot lengan dengan jangka waktu dan intensitas yang memerlukan dukungan peredaran dan pernapasan.”



Sedangkan Harsono (1988:177) menjelaskan tentang daya tahan otot sebagai berikut:

Daya tahan otot mengacu kepada suatu kelompok otot yang mampu untuk melakukan kontraksi yang berturut-turut (misalnya push-up atau sit-up), atau mampu mempertahankan suatu kontraksi statis untuk waktu yang lama (misalnya menggantung pada restok, menahan suatu beban dengan lengan lurus ke samping untuk waktu yang lama).

Berkenaan dengan daya tahan, Giriwijoyo, dkk. (2006:6) menjelaskan, “Daya tahan merupakan parameter yang menentukan untuk kesiapan latihan pada umumnya, disamping kemampuan motorik lainnya.” Hallmam dalam Giriwijoyo, dkk. (2006:6) menjelaskan sebagai berikut:

Daya tahan bergantung pada:
1. Jumlah otot yang terlibat pada kegiatan tersebut (dari banyaknya otot yang telibat dibedakan daya tahan local dan daya tahan umum)
2. Kemungkinan penyediaan energi (dari perbedaan penyediaan energi dibedakan atas daya tahan aerob dan anaerob)
3. Dari bentuk kerja otot itu sendiri (dari bentuk kerja otot yang isometris dan isotonis dibedakan daya tahan dinamis dan daya tahan statis).

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan dinamis aerobik berkaitan dengan daya tahan tubuh dalam mengatasi kelelahan dan pulih kembali dalam waktu yang singkat. Semakin baik kemampuan dinamis aerobik seseorang maka semakin baik pula daya tahan orang tersebut.

F. Anggapan Dasar
Penelitian ilmiah membutuhkan suatu anggapan dasar, karena dengan anggapan dasar seorang peneliti memiliki landasan dan keyakinan dalam menetapkan dan melaksanakan kegiatannya. Surakhmad (1998:107) menjelaskan, “Anggapan dasar atau postulat adalah sebuah titik tolak penelitian yang kebenarannya diterima oleh penyelidik.” Kemudian Arikunto (2002:65) mengemukakan, “Setiap penyelidik dapat merumuskan postulat yang berbeda.”
Dalam penelitian ini, asumsi yang dijadikan landasan untuk menetapkan suatu hipotesis adalah sebagai berikut:
1. Latihan hipoksik mengkondisikan atlet untuk melaksanakan tugas geraknya secara efektif dan efisien. Maksudnya adalah dengan penggunaan energi dan kerja otot relatif kecil dapat melakukan tugas gerak dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini dapat mencapai jarak renangan tertentu dalam waktu yang singkat dan penggunaan energi yang minimal.
2. Metode interval intensif merupakan metode latihan yang menekankan pada beban tugas yang relatif berat, sehingga dengan pengkondisian jarak tempuh renangan yang lebih jauh dari jarak tes atau pertandingan, maka akan membiasakan atlet untuk mencapai jarak tertentu dengan sesingkat-singkatnya.

Permainan Bola Basket

Kata dasar dari permainan adalah main. Kata main menurut Poerwadarminta (1984:620) berarti, “Perbuatan untuk menyenangkan hati (yang dilak...