Monday, December 28, 2009

Motivasi Belajar dalam Penjaskes

A. Definisi Motivasi

Manusia adalah mahluk yang diciptakan dengan sempurna, dibekali kelebihan naluri dan akal sehat dalam melakukan aktifitas untuk mempertahankan hidupnya. Aktifitas tersebut ditentukan oleh faktor-faktor yang datang dari diri sendiri maupun faktor yang dating dari luar. Tindakan atau perbuatan yang didorong oleh kekuatan dari dalam pribadi seseorang disebut motif. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Suryabrata (1984:70) bahwa: “Motif adalah keadaan dalam diri pribadi orang yang mendorong individu untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu guna mencapai tujuan.” Selanjutnya Singgih (1989:90) menjelaskan: “Motif diartikan sebagai pendorong atau penggerak dalam diri manusia yang diarahkan kepada tujuan tertentu.”

Dalam konteks pendidikan jasmani motif untuk untuk belajar merupakan kecenderungan seseorang untuk melakukan proses pembelajaran menurut kebutuhannya masing-masing, misalnya seseorang belajar untuk mendapatkan prestasi yang lebih tinggi atau hanya untuk memelihara kesehatan saja, atau juga untuk proses sosialisasi yaitu untuk dapat berhubungan dengan orang lain.

Selanjutnya Heckhauen mengemukakan dalam Sudibyo (1993:63) bahwa: “Motivasi merupakan aktualisasi dari motif, sehingga diperoleh batasan motivasi adalah proses aktualisasi sumber penggerak dan pendorong tingkah laku individu memenuhi kebutuhan untuk tujuan tertentu.”

Motivasi menurut Mc Donald yang dikutip Sardiman (1986:73) menjelaskan sebagai berikut: “Motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai munculnya rasa atau feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.” Sedangkan motivasi dalam kamus psikologi adalah sebagai berikut:

Motivasi menunjukan kepada seluruh proses gerakan, termasuk situasi yang mendorong timbul dalam diri inividu.tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut dan tujuan atau akhir dari pada gerakan atau perbuatan. Tingkah laku termotivasi ialah tingkah laku berlatar belakang adanya suatu kebutuhan, tujuan tingkah laku tercapai apabila kebutuhan telah terpenuhi.

B. Jenis-jenis Motivasi
Pemahaman dalam menerapkan motivasi yang harus dilakukan oleh pengajar senantiasa bertolak pada wawasan tentang konsep motivasi secara utuh. Salah satu cara yang mudah dalam mengaplikasikannya adalah tentang macam-macam motivasi yang dapat dijadikan pedoman menyampaikan dorongan terhadap siswa. Sardiman (1986:86-87) memberi gambaran tentang macam-macam motivasi sebagai berikut:

1. Motivasi dilihat dari dasar pendidikannya

a. Motif-motif bawaan.

Motif bawaan ialah motif yang dibawa sejak lahir, tanpa dipelajari, seperti dorongan untuk makan, minum, istirahat dan dorongan seksual. Motif ini diisyaratkan secara biologis. Fradsen memberi istilah sejenis motif physiological drives

b. Motif-motif yang dipelajari

Adalah motif yang timbul karena dipelajari. Seperti dorongan untuk belajar suatu cabang ilmu pengetahuan, dorongan untuk mengajar sesuatu didalam masyarakat

2. Jenis motifasi menurut pembagian dari Woodworth dan Marquis (1955) dalam Sardiman (1986:86) sebagai berikut:

a. Motif atau kebutuhan organis, ini sesuai dengan jenis Physiological drives dari Fradsen seperti telah disinggung didepan

b. Motif-motif darurat, seperti dorongan untuk menyelamatkan diri, orongan untuk membalas, untuk berusaha, untuk memburu. Jelasnya motivasi jenis ini timbul karena adanya rangsangan dari luar.

c. Motif-motif objektif, dalam halini mnyangkut kebutuhan untuk melakukan eksplorasi, melakukan manipulasi untuk menaruh minat. Motif ini timbul karena dorongan untuk dapat menghadapi dunia luar secara efektif.

3. Motivasi jasmaniah dan rohaniah

Yang termasuk motifasi jasmaniah adalah seperti reflek, insting otomatis nafsu. Sedangkan yang termasuk motivasi rohaniah adalah kemauan. Reflek dan insting otomatis hampir sama, terbentuk oleh rangsangan yang ditimbulkan dari luar individu secara mendadak atau tiba-tiba. Misalnya ketika seseorang tiba-tiba ada benda asing yang masuk kedalam matanya, maka secara reflek ia akan berkedip dan timbul insting otomatis dengan mengeluarkan air dari mata tersebut. Sedangkan nafsu itu timbul ketika ada tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh seseorang.

Kemauan pada setiap diri seseongan terbentuk melalui empat momen, yaitu: Momen timbulnya alasan, momen pilih ketika ada persaingan alternatif, momen pengambilan keputusan, momen terbentuknya kemauan.

4. Motivasi ekstrinsik dan intrinsik

Untuk melihat motivasi belajar dari diri seseorang dapat diamati dari motivasi ekstrinsik dan intrinsik orang dalam melakukan belajar. Mengenai pengertian motivasi ekstrinsik dan intrinsic, Singgih (1989:100) menjelaskan: “Motivasi intrinsik adalah dorongan dari dalam yang menyebabkan individu berpartisipasi.. Dorongan ini sering dikatakan dibawa sejak lahir, sehingga tidak dapat dipelajari.” Selanjutnya Harsono (1988:252) menjelaskan: “Motivasi intrinsik sering pula disebut competenc motifation karena atlet dengan motifasi intrinsic biasanya sangat bergairah untuk meningkatkan kompetisinya dalam usaha untuk mencapai kesempurnaan.”

Siswa yang memiliki motifasi ini akan memiliki tujuan menjadi orang yang terdidik, berpengetahuan dengan cara belajar dengan sungguh-sungguh. Dorongan yang menggerakan bersumber pada suatu kebutuhan. Jadi motifasi itu muncul dari kesadaran sendiri dengan tujuan yang jelas, yaitu keharusan untuk menjadi orang yang terdidik dan berpengetahuan. Sedangkan motivasi ektrinsik menurut Singgih (1989:101) adalah: “Dorongan yang berasal dari luar individu yang menyebabkan berpartisipasi dalam olahraga.” Motivasi ektrinsik dapat dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktifitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktifitas belajar fisik. Berdasarkan hal tersebut, bukan berarti motivasi ini tidak penting. Hal seperti ini yang dikemukakan oleh Sardiman (2004:91) yaitu:

Dalam kegiatan belajar mengajar motifasi ektrinsik tetap penting, sebab kemungkinan besar keadaan sisa itu dinamis, berubah-ubah dan jjuga mungkin komponen-kompenen lain dalam proses belajar mengajar ada yang kurang menarik bagi siswa sehingga diperlukan motifasi ektrinsik.

Kemudian Butt dalam Wismaningsih (1992:40) menjelaskan: “Motivasi olahraga sebagaian besar bersumber kepada kkebutuhan individu merasa kompeten dalam suatu kegiatan olahraga.” Jadi dapat penulis gambarkan, seseorang melakuakan aktifitas olahraga didasarkan bahwa ia ingin menunjukan keterampilan maupun kompetensinya dibidang olahraga.

C. Belajar

Belajar merupakan istilah yang tidak asing dalam kehidupan manusia sehari-hari, dalam menjalani kehidupan tanoa disadari manusia telah melakukan apa yang disebut belajar. Menurut Skinner (1958) dalam Walgito (2004:166) mengemukakan bahwa, “Belajar itu merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif. Ini berarti bahwa sebagai akibat dari belajar adanya progresifitas, adanya tendensi ke arah yang lebih baik dari keadaan sebelumnya.”

Dikatakan bahwa belajar merupakan suatu proses adaptasi prilaku yang progresif, maka setelah terjadi proses adaptasi diharapkan terjadi perubahan dalam penampilan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Mc Geoch (1956) dalam Suryabrata (2002:231) bahwa: “Learning is a change in performance as a result of practice.” Ini berarti bahwa belajar membawa perubahan dalam penampilan, dan perubahan itu sebagai akibat dari latihan atau proses belajar.

Perubahan penampilan yang diakibatkan oleh proses belajar diharapkan dapat bersifat kekal. Mengenai hal ini Morgan (1984) dalam Walgito (2004:167) mengemukakan: “Learning can be defined as any relatively permanent change in behavior which occur as a result of practice or experience”. Ini berarti bahwa perubahan perilaku itu relatif permanen.

Dalam proses pembelajaran diharapkan terjadi perubahan sesuai dengan tujuan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Surya (2003:13) bahwa: “Dalam proses pembelajaran, semua aktifitas terarah kepada pencapaian suatu tujuan tertentu.” Misalnya seorang inividu belajar pendidikan jasmani dengan harapan akan menjadi sehat dan bertujuan untuk mempelajari keterampilan berolahraga.

Dari beberapa teori di atas, dapat penulis gambarkan beberapa hal mengenai belajar yaitu:

1. Belajar merupakan suatu proses yang mengakibatkan adanya perubahan prilaku ini setelah belajar individu mengalami perubahan perilaku dalam arti yang luas.

2. Perubahan yang disebabkan karena belajar itu bersifat relatif permanen, yang berarti perubahan itu dapat bertahan dalam waktu yang lama. Tetapi perbahan itu tidak akan menetap terus menerus, sehingga sewaktu-waktu hal itu dapat berubah lagi sebagai akibat belajar.

3. Semua aktifitas pembelajaran terarah pada tujuan, sehingga perubahan yang terjadi akan seseuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Belajar sebagai proses atau aktifitas diisyaratkan oleh banyak sekali hal atau faktor-faktor. Faktor yang mempengaruhi belajar dapat diklasifikasikan, seperti yang dikemukakan oleh Suryabrata (2002:233-236) sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang berasal dari luar diri siswa, yaitu:

a. Faktor-faktor non sosial

Kelompok dari faktor-faktor ini tak terbilang jumlahnya, seperti misalnya keadaan udara, suhu, cuaca, waktu belajar dan fasilitas belajar. Faktor-faktor tersebut harus diatur sehingga dapat membantu kelancaran proses belajar.

b. Faktor-faktor sosial

Adalah faktor manusia seperti misalnya kegaduhan dalam kelas yang dilakukan oleh sebagian kecil siswa tentunya akan mengganggu secara keseluruhan proses belajar, ketika sedang belajar terdengar banyak orang lain yang bercakap-cakap disamping kelas, 1 atau 2 orang hilir mudik keluar kelas dan sebagainya. Biasanya faktor-faktor tersebut mengganggu konsentrasi, sehingga perhatian tidak dapat ditujukan pada proses belajar. Dengan berbagai cara faktor-faktor tersebut harus diatur supaya belajar dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.

2. Faktor-faktor yang berasal dalam diri siswa

a. Faktor-faktor fisiologis dalam belajar

Faktor fisiologis ini ternyata dibedakan oleh dua macam, yaitu tonus jasmani pada umumnya dan keadaan fungsi-fungsi indera. Keadaan tonus jasmani pada umumnya dapat dikatakan yang melatar belakang aktifitas belajar. Keadaan jasmani yang sehat dan segar akan membawa pengaruh yang baik terhadap proses belajar. Seperti misalnya keadaan gizi dan nutrisi yang cukup. Keadaan fungsi-fungsi panca indera yang berfungsi baik akan sangat membantu kelancaran proses belajar.

b. Faktor-faktor psikologis dalam belajar

Faktor-faktor psikologis mencakup pada hal-hal yang mendorong aktifitas belajar. Mengenai hal ini Fradsen (1961) mengemukakan dalam Suryabrata (2002:236) bahwa hal yang mendorong seseorang untuk belajar itu adalah sebagai berikut

Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas
Adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk maju
Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru dan teman-teman
Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan koperasi maupun dengan kompetisi
Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran
Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir daripada belajar.

D. Motivasi Belajar dalam Pendidikan Jasmani

Definisi motivasi belajar menurut Sardiman (1986:40) menjelaskan: “Motivasi belajar adalah keinginan atau dorongan untuk belajar.” Artinya motivasi belajar akan mendorong siswa untuk melakukan kegiatan belajar, jadi motivasi belajar siswa akan senantiasa menentukan intensitas belajar bagi para siswa.
Sehubungan dengan pentingnya motivasi belajar akan berkaitan dengan hasil belajar yang akan dicapai. Adapun fungsi motivasi seperti yang dikemukakan oleh Sardiman (2004:85) yaitu:

1. Mendorong manusia untuk berbuat, sebagai sumber penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan

2. Menentukan arah perbuatan yakni kearah tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan rumusan tujuannya.

3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.

Dalam kaitan dengan pendidikan jasmani motivasi belajar pendidikan jasmani sangat diperlukan agar kegiatan belajar-mengajar dapat berlangsung dan tujuan pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Sesuai dengan konsep motifasi belajar, maka motivasi belajar pendidikan jasmani adalah dorongan atau keinginan siswa untuk melakukan aktifitas-aktifitas yang terdapat dalam kegiatan belajar pendidikan jasmani.

Adalah tugas seorang guru untuk membangkitkan motivasi belajar siswa. Misalnya dengan menjelaskan maksud dan tujuan tugas yang akan diberikan. Lutan (1998:30) menjelaskan: “Teknik memotivasi belajar pendidikan jasmani adalah dengan cara: orientasi sukses, modifikasi cabang olahraga, motivasi dalam diri anak, pengajaran dengan menawarkan tugas dan fariasi antar tugas.” Pengajaran akan berhasil mencapai tujuannya kalau anak aktif melaksanakan tugas ajar. Untuk itu tugas gerak disesuaikan dengan kemampuan siswa dan kriteria berhasil juga disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.

Memotivasi siswa dalam mengikuti belajar pendidikan jasmani adalah menumbuhkan dorongan dari dalam diri anak untuk mencintai pendidikan jasmani. Lutan (1998:33) menjelaskan: “Dorongan untuk mencintai pendidikan jasmani berkaitan dengan rasa puas, senang dan berhasil. Namun sesekali dikombnasikan dengan memotifasi dari luar diri anak yaitu berupa pujian, pemberian hadiah, atau nilai yang bagus.”

Variasi belajar adalah sumber dari motifasi karena itu sebaiknya seorang guru merencanakan variasi tugas dalam pembelajaran dan hendaknya memahami bagaimana intensitas motivasi yang dimiliki oleh siswanya. Jika terdapat siswa yang rendah motivasinya, maka perlu diselidiki penyebabnya dan mendorong siswa untuk melakukan apa yang seharussnya dilakukan. Kemudian Abin Syamsudin (2000:40) menyatakan ada beberapa hal yang dapat dijadikan indikator untuk mengetahui seberapa besar kekuatan motifasi belajar, yaitu:

1. Durasi kegiatan (berapalama kemampuan penggunaan waktunya untuk melakukan kegiatan).

2. Frekuensi kegiatan (berapa sering kegiatan dilakukan dalam periode waktu tertentu)

3. Persistensinya (ketetapan dan kelekatannya pada tujuan kegiatan belajar)

4. Ketabahan, keuletan, dan kemampuannya dalam menghadapi kesulitan untuk mencapai tujuan

5. Devosi (pengabdian) dan pengorbanan(uang, tenaga, pikiran bahkan jiwanya untuk mencapai tujuan)

6. Tingkat aspirasinya (maksud, rencana, cita-cita, sasaran atau target dan idolanya) yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan

7. Tingkatan kualifikasi prestasi atau produk yang dicapai dari kegiatannya

8. Arah sikapnya terhadap sasaran kegiatan.

Asesmen Pembelajaran Penjas

A. Pendidikan Jasmani
Definisi pendidikan secara luas seperti yang dikemukakan oleh Mudyahardjo (1998:1) yaitu segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup”. Sedangkan definisi pendidikan yang lebih sempit yang dikemukakan Mudyahardjo (1998:1) yaitu “pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan disekolah sebagai lembaga pendidikan formal”.
Pendidikan jasmani adalah pendidikan yang menggunakan jasmani sebagai titik pangkal mendidik. Hal ini berarti pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kebugaran jasmani dan meningkatkan keterampilan berolahraga. Namun tujuan itu tidak hanya menitikberatkan pada kebugaran jasmani dan keterampilan olahraga saja. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam undang-undang Nomor 12 tahun 1954 pada Bab VI, pasal 9 (dalam Wirjasantosa 1984:25) tercantum:

Pendidikan jasmani yang menuju kepada keselarasan antara tumbuhnya badan dengan perkembangan jiwa, merupakan usaha untuk membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sehat kuat lahir batin, diberikan pada semua jenis sekolah.


Perkataan keselarasan menjadi pedoman untuk menjaga agar penidikan jasmani tidak terpisahkan dari arti pendidikan secara keseluruhan. Pendidikan jasmani adalah bagian tuntutan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani. Selanjutnya Lutan (2000:2) mengemukakan:

Pendidikan jasmani itu bersifat menyeluruh, sebab mencakup bukan hanya aspek fisik tetapi juga aspek lainnya yang mencakup aspekintelektual, emosional, sosial dan moral dengan maksud anak muda itu menjadi seseorang percaya diri, berdisiplin, sehat bugar dan hidup bahagia.


Pengaruh pendidikan jasmani akan memberikan dampak positif pada siswa untuk mengembangkan kemampuan secara keseluruhan baik afektif, kognitif dan psikomotor. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lutan (2000:2-3) yaitu:

Pendidikan jasmani memberikan kesempatan kepada siswa untuk:
  1. Mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya yang berkaitan dengan aktifitas jasmani, perkembangan estetika, dan perkembangan sosial.
  2. Mengembangkan kepercayaan diri dan kemampuan untuk menguasai keterampilan gerak dasar yang akan mendorong partisipasinya dalam aneka aktivitas jasmani
  3. Memperolah dan mempertahankan derajak kebugaran jasmani yang optimal untuk melaksanakan tugas sehari-hari secara efisien dan terkendali
  4. Mengembangkan nilai-nilai pribadi melalui partisipasi dalam aktifitas jasmani baik secara berkelompok maupun perorangan.
  5. Berpartisipasi dalam aktifitas jasmani yang dapatmengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan siswa berfungsi secara efektif dalam hubungan antar orang.
  6. Menikmati kesenangan dan keriangan melalui aktifitas jasmani termasuk permainan olahraga.

Jadi dapat penulis gambarkan bahwa pendidikan jasmani adalah pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor lewat aktifitas jasmani. Domain kognitif mencakup pengetahuan tentang fakta, konsep dan lebih penting lagi adalah penalaran dan kemampuan dalam memcahkan masalah. Domain afektif menyentuh pada pembentukan sikap dan prilaku yang mencakup kemampuan diri, kemampuan memotifasi diri, ketekunan dan kemampuan berempati. Dan domain psikomotor yaitu aspek kebugaran jasmani dan keterampilan olahraga.
Telah dikemukakan sebelumnya, tujuan dari pendidikan jasmani itu bersifat menyeluruh tidak hanya mencakup aspek fisik saja, hal ini seperti dikemukakan oleh Lutan (1998:4) yaitu: “Tujuan program pendidikan jasmani itu lebih bersifat menyeluruh mencakup bukan hanya aspek fisiknya tetapiaspek lainnya sehingga memiliki percaya diri, berdisiplin, sehat, bugar dan hidup bahagia.”
Dalam pembelajaran pendidikan jasmani diperlukan situasi poses belajar mengajar yang mendukung tercapainya tujuan pembelajaran pendidikan jasmani. Dalam hal ini Sardiman (2004:85) mengemukakan: “Motifasi bertalian dengan suatu tujuan.” Artinya dengan motifasi yang tinggi, seorang siswa akan bersemangat dalam belajar pendidikan jasmani dilapangan meskipun diterik matahari pada siang hari. Selanjutnya Singgih (1989:93) yaitu: “Motifasi dalam olahraga menjamin kelangsungan belajar dan memberikan arah pada kegiatan latihan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.” Dengan demikian dalam kegiatan belajar ddiperlukan adanya motifasi siswa untuk tercapainya tujuan belajar pendidikan jasmani.


B. Asesmen Pembelajaran Penjas

1. Pengertian Asesmen
Menerapkan salah satu model evaluasi dengan menggunakan pendekatan asesmen dapat memudahkan guru, siswa, orang tua bahkan pihak sekolah dalam memantau kemajuan belajar. Asesmen itu sendiri menurut Adang (2001:6) yaitu: “Proses pengumpulan informasi/data yang berfungsi untuk membantu siswa dalam belajarnya sekaligus digunakan untuk menentukan nilai.”
Asesmen dan pengukuran merupakan istilah dari evaluasi yang keduanya mengandung pengertian yang sama, yaitu: (1) Keduanya merupakan proses pengumpulan informasi. (2) Keduanya merupakan salah satu tahap dalam proses evaluasi. (3) Keduanya seringkali diikuti oleh penilaian. Karena kedua istilah ini banyak persamaannya, maka dalam kasus tertentu penggunaannya sama. Misal, dalam kasus tes lari 1000 meter. Data yang diperoleh melalui tes ini berupa skor, misalnya 9 menit. Jadi, untuk menentukan nilai, data ini tidak perlu dikuantifikasi lagi. Yang terpenting, apa makna skor 9 menit, apa bedanya dengan skor 7 menit.
Dalam pelaksanaannya, evaluator berusaha mengamati dan mengumpulkan informasi tentang kelemahan dan keunggulan belajar siswa. Informasi ini digunakan sebagai umpan balik bagi guru, dalam menentukan langkah untuk mengatasi kesulitan belajar siswa.
Jenis informasi yang dihimpun melalui asesmen banyak ragamnya, bergantung pada kebutuhan antara lain berupa skor, deskripsi kegiatan dan kualitas. Asesmen yang sering digunakan berupa daftar cek dan borang, guru dapat lebih mudah memantau kemajuan belajar dan menentukan materi yang harus diberikan sesuai dengan tingkat kemajuan belajar siswa.
Borang (instrumen) asesmen merupakan salah satu bentuk instrumen pengumpul data. Borang dapat disajikan dalam bentuk lembar kerja siswa. Setiap contoh borang selalu diawali dengan materi alternatif tujuan asesmen. Suatu hal yang tidak mungkin untuk membuat penilaian yang dapat mencerminkan semua unsur penting dari suatu penampilan. Sehubungan dengan itu, alternatif tujuan merupakan salah satu pilihan mengenai tujuan asesmen yang diperoleh dari hasil tinjauan ulang tentang keterampilan yang diajarkan dan disesuaikan dengan keadaan siswa yang belajarnya dengan kata lain, para guru dapat saja merumuskan tujuan dan merancang borang sesuai dengan kebutuhan program disekolahnya.

2. Maksud dan Tujuan Asesmen
Profesi sebagai seorang guru pendidikan jasmani bukanlah hal yang mudah. Guru pendidikan jasmani dihadapkan pada beberapa masalah dan tantangan dalam pelaksanaan evaluasi pendidikan jasmani. Tantangan itu antara lain adalah jumlah siswa yang cukup banyak dan alokasi waktu yang relatif terbatas.
Adapun tujuan dari model evaluasi dengan menggunakan pendekatan asesmen antara lain yaitu untuk menghimpun data pengetahuan siswa tentang konsep dan keterampilan gerak yang dipelajarinya, merupakan hasil tinjauan ulang tentang keterampilan yang diajarkan dan disesuaikan dengan keadaan siswa, kemudian informasi ini digunakan sebagai umpan balik bagi guru dalam menentukan langkah untuk mengatasi kesulitan belajar siswa

3. Manfaat Asesmen
Manfaat yang dirasakan dalam mengevaluasi siswa melalui asesmen dapat dilihat melalui data perkembangan kemajuan belajar. Pelaporan merupakan salah satu bukti diselenggarakannya evaluasi yang selanjutnya dipakai sebagai umpan balik yang sangat berguna. Bagi guru,dijadikan dasar pembuatan keputusan yang berhubungan dengan perbaikan pengajarannya. Bagi siswa, dapat membangkitkan motifasi belajar. Bagi orang tua siswa, merupakan bukti dari pertanggung jawaban dari sekolah terhadap dukungan orang tua untuk keberhasilan anaknya. Menurut Adang (2001:9) proses ini paling tidak mengandung 4 manfaat yaitu:

  • Menelaah secara seksama kemampuan siswa.
  • Untuk meningkatkan aktifitas balajar dan memotifasi siswa, hindarkanlah penggunaan standar yang baru, atau perbandingan dengan teman.
  • Memberikan informasi tentang keberhasilan seluruh program.
  • Aspek-aspek apa saja yang sudah dikuasai dan yang belum dikuasai siswa, dan guru sebagai evaluator perlu memberikan penghargaan atas apa yang telah siswa capai.
  • Memeberikan bukti kepada orang tua siswa, Kepala sekolah dan pihak lain. Manfaat apa yang telah diperoleh dari pendidikan jasmani yang diselenggarakan dengan pengelolaan yang baik.
  • Dijadikan ukuran yang dapat dipertanggung jawabkan untuk menilai keberhasilan proses belajar mengajar.

Pada saat evaluasi, guru sering terkejut melihat hasil proses belajar mengajar dengan kesimpulan pihak guru sudah melaksanakan tugasnya dengan baik, tetapi hasil tes kurang baik.

4. Hubungan Asesmen Dengan Pembelajaran
Peningkatan mutu proses belajar mengajar merupakan persoalaan penting dalam pendidikan, begitu pula dalam pendidikan jasmani. Titik sentral proses belajar mengajar adalah siswa belajar. Sedangkan istilah mengajar lebih menekankan pada aktifitas guru. Tujuan mengajar pada dasarnya adalah mendorong siswa agar belajar dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan tersebut pembuatan keputusan harus dilaksanakan.
Penentuan nilai atau sering disebut juga grading adalah proses pemberian makna terhadap informasi yang diperoleh mengenai asesmen dan pengukuran. Yang bertujuan memberi gambaran mengenai hasil belajar siswa sehingga dapat dipahami oleh guru, siswa dan orang tua.
Dari uraian diatas maka penulis menyimpulkan penentuan nilai hanya mungkin dapat dilakukan manakala tersedia informasi yang diperoleh melalui asesmen dan pengukuran. Asesmen dan pengukuran dapat dilakukan manakala tersedia instrumennya. Instrumen yang digunakan harus sesuai dengan tujuan evaluasi. Keseluruhan proses dari mulai penentuan tujuan, pembuatan instrumen, pengumpulan informasi atau data, dan grading inilah yang disebut proses evaluasi yang nantinya akan menunjukan prestasi siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung. Dengan begitu hubungan antara asesmen dengan pembelajaran sangat erat.

5. Jenis atau Bentuk Asesmen
Asesmen itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian diantaranya Asesmen otentik. Asesmen dikatakan otentik manakala siswa mendemonstrasikan perilaku yang diharapkan dalam situasi nyata, misalnya bermain sepak bola dengan teman-temannya, atau bermain lempar tangkap dengan keluarganya. Pada kasus ini guru dapat menghimpun informasi tentang 1) bagaimana menerapkan pengetahuan dan keterampilan pada situasi nyata melakukan aktivitas fisik atau olahraga, dan 2) bagaimana menerapkan konsep kerja sama dan teknik menendang pada situasi nyata bermain sepak bola dan sebagainya. Namun demikian menyediakan situasi nyata untuk keperluan asesmen sangatlah menantang. Para guru perlu mengembangkan asesmen otentik yang menyebabkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari siswa secara alami terungkap. Dengan demikian diharapkan perilaku yang terungkap tersebut merupakan cerminan kehidupan nyata baik dalam lingkungan sekolah maupun luar sekolah.
Asesmen alternatif menjadi asesmen otentik manakala diterapkan dalam situasi nyata. Alternatif asesmen menuntut siswa menggunakan keterampilan berfikir yang lebih tinggi. Keterampilan memecahkan masalah dan pembuatan keputusan, siswa dituntut mendemonstrasikan perilaku. Pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan dalam situasi dan kondisi yang terkendali.

Tuesday, June 9, 2009

Profil Kompetensi Instruktur Senam Aerobik

A. Hakikat Olahraga
1. Pengertian Olahraga
Olahraga merupakan salah satu kegiatan yang sudah dikenal dan sering dilakukan manusia. Berbagai jenis kegiatan olahraga bisa dipilih dan dilakukan oleh manusia. Mulai dari jenis olahraga yang murah dan mudah melakukannya sampai olahraga yang memerlukan biaya yang besar.
Istilah olahraga jika ditinjau dari asal kata, terdiri dari dua kata yaitu kata ”Olah” dan kata “Raga” arti dari kedua kata tersebut diterangkan oleh Dirjen PLS dan Olahraga (1977:23) adalah sebagai berikut:

Olahraga terdiri dari dua kata yaitu kata olah dan raga, kata olah disini berarti mengolah, meramu, mengurus, memasak, atau mematangkan serta membina materi yaitu bahan atau potensi. Kata raga bukan berarti semata-mata berarti badan, tetapi terdiri dari raga badag dan raga halus. Antara raga badag dan raga halus atau lazimnya dikenal dengan jasmani dan rohani tidak dapat terpisahkan atau dibagi. Tiap individu itu harus berfikir dan bertindak secara keseluruhan.

Kata olahraga terwujud dari kata sport yang berasal dari bahasa Latin disportare. Dis sama dengan terpisah dan portare sama dengan membawa, jadi disportare mengandung pengertian membawa dirinya terpisah dari gangguan. Dalam bahasa Perancis kuno ditemukan istilah desport yang berarti bersenang-senang. Depdikbud (1984:7) memberikan pengertian olahraga dari beberapa sumber sebagai berikut:
1. Kamus Bahasa Indonesia: olahraga adalah gerak badan, olah berarti laku/perbuatan, sedangkan raga berarti badan.
2. Ensiklopedia Indonesia: olahraga adalah gerak badan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih yang merupakan regu atau rombongan.
3. Kamus Pendidikan: olahraga adalah berbagai latihan berbentuk permainan, biasanya dilakukan diluar rumah atau dilapangan terbuka.
4. KEPRES 131 tahun 1962: olahraga mempunyai arti yang seluas-luasnya yang meliputi segala kegiatan/usaha untuk mendorong, membangkitkan, mengembangkan, dan membina kekuatan-kekuatan jasmani maupun rohani pada setiap manusia.
5. Musornas Olahraga I: olahraga adalah kegiatan manusia yang wajar yang diperlukan dalam kehidupannya dengan kodrat Illahi.
Ditinjau dari sudut Ilmu Faal, Giriwijoyo (1995:7) menjelaskan bahwa, “Olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana yang dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan fungsional raga agar menjadi sesuai dengan persyaratan atau tujuan tertentu yang dikehendakinya.”
Berbagai pengertian olahraga telah dikemukakan dari ahli, sehingga penulis dapat menyimpulkan bahwa olahraga adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara teratur dan terencana yang bertujuan untuk mendorong, membangkitkan, mengembangkan dan membina kekuatan baik jasmani maupun rohani.

2. Karakteristik Olahraga
Olahraga sering diartikan sebagai rangkaian gerak raga yang teratur dan terencana yang dilakukan orang untuk mencapai suatu maksud atau tujuan tertentu. Lutan (1991:13) mengemukakan tentang ciri hakiki dalam olahraga sebagai berikut: “1) Olahraga merupakan sub bagian dari permainan, 2) Olahraga berorientasi pada kegiatan jasmani dalam wujud keterampilan motorik, daya tahan, kekuatan, dan kecepatan, 3) Olahraga sebagai sebuah realitas, 4) Prinsip prestasi dalam olahraga, dan 5) Aspek sosial dalam olahraga.”
Olahraga dapat dibedakan berdasarkan beberapa sudut pandang, salah satunya dari tujuan dalam melakukan olahraga itu sendiri. Mengenai tujuan olahraga dikemukakan oleh Giriwijoyo (1995:8) sebagai berikut:

Olahraga dibagi menjadi:
1. Olahraga profesi yaitu olahraga yang diselenggarakan untuk tujuan mata pencaharian
2. Olahraga prestasi yaitu olahraga yang diselenggarakan untuk tujuan pencapaian prestasi maximal dalam suatu cabang olahraga. Merupakan jenis-jenis olahraga pertandingan.
3. Olahraga rekreasi yaitu olahraga yang diselenggarakan untuk tujuan kegembiraan dan menghilangkan ketegangan.
4. Olahraga kesehatan yaitu olahraga yang diselenggarakan untuk tujuan pemeliharaan dan atau peningkatan derajat kesehatan.
5. Olahraga pendidikan yaitu olahraga yang diselenggarakan untuk tujuan pendidikan.

Lutan (1991:16) menjelaskan, “Analisis tentang ciri hakiki olahraga dapat dilakukan berdasarkan 1) tujuan, 2) alat yang dipakai untuk mencapai tujuan, 3) peraturan, 4) keterlaksanaan berdasarkan kemampuan yang berorientasi pada jasmani atau keterampilan, dan 5) sikap si pelaku.”
Ditinjau dari jenis atau bentuknya, olahraga dapat dibedakan menjadi olahraga atletik, olahraga permainan, olahraga air, olahraga beladiri dan olahraga senam. Masing-masing jenis olahraga tersebut mempunyai bagian lainnya, seperti olahraga atletik dapat dibedakan menjadi nomor jalan, lari, lempar dan lompat. Olahraga permainan dapat dibedakan menjadi olahraga permainan bola besar dan bola kecil. Olahraga air dapat dibedakan menjadi olahraga renang, loncat indah, polo air, menyelam, dan dayung. Olahraga beladiri dapat dibedakan menjadi berbagai jenis olahraga beladiri seperti pencak silat, karate, tae kwon do, judo, gulat dan tinju. Olahraga senam dapat dibedakan menjadi senam artistik, senam ritmik dan senam umum.

B. Hakikat Olahraga Senam Aerobik
1. Pengertian Olahraga Aerobik
Aerobik dapat diartikan sebagai bekerja dengan oksigen. Lutan (2002:46) menjelaskan, “Istilah aerobik digunakan untuk menyatakan pengertian yang meliputi pemasukan, pengangkutan, dan pemanfaatan oksigen.”
Dalam melakukan suatu kegiatan olahraga/gerak/kerja, terdapat dua mekanisme penyediaan energi untuk mendukung hal tersebut, yaitu: a) Olahdaya anaerob yang langsung mewujudkan gerak dan merupakan kemampuan endogen Ergosistema I khususnya otot, dan b) Olahdaya aerob yang juga dilaksanakan oleh Ergosistema I (otot), namun bergantung pada kemampuan fungsional Ergosistema II khususnya kerja jantung dan paru-paru.
Maksudnya tanpa peran serta Ergosistema II, olahdaya aerob tak mungkin terlaksana dan aktivitas gerak Ergosistema I akan segera terhenti. Jadi makin tinggi kemampuan fungsional Ergosistema II, makin tegar kelangsungan penampilan Ergosistema I.
Olahdaya anaerob adalah olahdaya yang tidak membutuhkan oksigen, sedangkan olahdaya aerob adalah olahdaya yang membutuhkan oksigen. Mengenai hal ini dijelaskan oleh Giriwijoyo (1991:62) sebagai berikut:

Olahdaya anaerob dan aerob harus selalu seimbang. Ketidakmampuan olahdaya aerob mengimbangi olahdaya anaerob akan menyebabkan “zat kelelahan” bertumpuk. Akibatnya, intensitas kerja akan berkurang. Dengan kata lain, jika kemampuan olahdaya aerob rendah maka kemampuan kerja rendah. Kemampuan olahdaya aerob terbesar yang dimiliki seseorang disebut kapasitas aerobik.
Oleh karena olahdaya anaerob dan aerob harus selalu seimbang baik dalam keadaan istirahat maupun kerja, maka tidak ada olahraga anaerob dan aerob yang murni. Yang ada adalah olahraga yang dominan faktor anaerob ataupun aerob. Berkenaan dengan olahraga anaerob dan aerob, Giriwijoyo (1991:63) menjelaskan:

Olahraga aerob, bila selama penampilannya minimal sekitar 2/3 atau 70% dari seluruh energi yang digunakan disediakan melalui olahdaya aerob.
Olahraga anaerob, bila selama penampilannya minimal sekitar 2/3 atau 70% dari seluruh energi yang digunakan disediakan melalui olahdaya anaerob.

Tangkudung (2004:4) menjelaskan, “Pada dasarnya latihan olahraga dapat dibagi menjadi dua yaitu latihan aerobik dan latihan anaerobik. Latihan aerobik adalah latihan yang menuntut oksigen tanpa menimbulkan hutang oksigen yang tidak terbayar. Aerobik berarti menggunakan oksigen.”
Giriwijoyo (1991:63) menjelaskan pembagian jenis olahraga aerob dan anaerob berdasarkan waktu sebagai berikut: “1) 0 – 2 menit, anaerob dominan, contoh: lari cepat hingga 800 meter, 2) 2 – 8 menit, anaerob + aerob, contoh: lari antara 800 – 3000 meter, dan 3) 8 menit lebih, aerob dominan, contoh: lari 3000 meter ke atas.” Kemudian Tangkudung (2004:4) menjelaskan:

Olahraga yang berlangsung secara kontinyu lebih dari empat menit dan dilakukan dengan intensitas rendah termasuk golongan aerobik. Jadi olahraga aerobik bukan hanya senam aerobik, tetapi masih banyak jenis olahraga lainnya, seperti bersepeda, berenang, jalan cepat dan lari lintas alam.


Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan atau suatu aktivitas dinyatakan sebagai aktivitas aerobik jika 70% penampilannya menggunakan olahdaya aerob dan waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan tugas/penampilannya lebih dari 8 menit.
2. Pengertian Senam Aerobik
Olahraga senam aerobik merupakan salah satu jenis olahraga kebugaran yang sangat diminati oleh hampir sebagian besar masyarakat, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini dikarenakan olahraga senam aerobik merupakan olahraga yang dapat dilakukan secara massal, murah, meriah, menyenangkan dan memberikan manfaat yang langsung dan nyata.
Olahraga senam aerobik dapat digolongkan menjadi olahraga kesehatan, karena ciri-ciri umum dalam olahraga kesehatan terpenuhi oleh olahraga senam aerobik. Mengenai ciri umum olahraga kesehatan dijelaskan oleh Giriwijoyo (1995:5) sebagai berikut:

1. Massal: olahraga kesehatan dapat diikuti sejumlah besar orang secara serentak
2. Mudah: gerakan olahraga kesehatan mudah diikuti dan dapat dilakukan dengan baik oleh anak-anak, dewasa maupun manula
3. Murah: tidak memerlukan peralatan maupun ruangan khusus untuk pelaksanaannya
4. Meriah: membangkitkan suasana santai dan gembira, bebas stress dan memungkinkan silaturahmi yang lebih baik
5. Manfaat dan aman: manfaatnya dapat dirasakan baik lahir maupun batin serta kecil kemungkinan terjadinya cedera

Olahraga senam aerobik itu sendiri sering diartikan sebagai olahraga yang gerakannya dipilih dan dilakukan sesuai dengan keinginan pelakunya dan menggunakan iringan musik. Tangkudung (2004:5) menjelaskan, “Senam aerobik adalah serangkaian gerak yang dipilih secara sengaja dengan cara mengikuti irama musik yang juga dipilih sehingga melahirkan ketentuan ritmis, kontinuitas, dan durasi tertentu.”
Pada umumnya senam aerobik ditujukan untuk meningkatkan kebugaran jasmani, khususnya kerja jantung dan paru-paru. Tangkudung (2004:5) menjelaskan, “Senam aerobik bertujuan untuk meningkatkan kemampuan jantung dan paru-paru serta pembentukan tubuh. Gerakan-gerakan yang dipilih tentu saja harus mengandung nilai yang diperlukan untuk kedua tujuan tersebut.”
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa senam aerobik merupakan jenis olahraga kesehatan. Namun dalam perkembangannya, senam aerobik juga dilombakan untuk tujuan prestasi. senam aerobik ditujukan untuk tujuan meningkatkan kerja jantung dan paru-paru serta pembentukan tubuh.

3. Karakteristik Olahraga Senam Aerobik
Setiap olahraga mempunyai ciri khas dan aturan tertentu dalam pelaksanaannya, sehingga hal tersebut dijadikan sebagai daya beda dari olahraga lainnya. Karakteristik olahraga senam aerobik diantaranya adalah mempunyai tujuan untuk meningkatkan kerja jantung dan paru-paru, pembentukan tubuh, dan menggunakan irama musik. Berkaitan dengan hal ini, Tangkudung (2004:5) menjelaskan sebagai berikut:

1. Gerakan yang dipilih harus mampu menyebabkan denyut jantung meningkat sedemikian rupa ke target latihan atau zona latihan
2. Gerakan yang dipilih harus mengandung kalestenik yang memenuhi tuntutan teknik dan dan ketentuan anatomis tertentu
3. Irama musik mempunyai 2 sisi yang sama penting. Di satu sisi musik bertindak sebagai patokan kecepatan, di sisi lain musik bertindak sebagai panjaga motivasi serta semangat dari para pelakunya agar tetap on

Seperti halnya olahraga pada umumnya, dalam senam aerobik pun mengikuti ketentuan yang sudah diterima secara umum, yaitu sistematika latihan yang meliputi latihan pemanasan, latihan inti dan latihan pendinginan. Berikut ini merupakan pembahasan mengenai sistematika latihan senam aerobik yang dijelaskan oleh Tangkudung (2004:7) sebagai berikut:

1. Pemanasan (Warm-up)
Kegiatan ini merupakan kegiatan pendahuluan yang pelaksanaannya mengandung unsure sebagai berikut:
a. Peningkatan suhu tubuh dan secara bertahap meningkatkan jumlah denyut nadi, dari denyut nadi istirahat ke denyut nadi latihan. Peningkatan suhu tersebut biasanya dilakukan dengan gerakan, seperti jalan di tempat atau gerakan dasar yang sederhana seperti mengayunkan kepala ke samping kiri dan kanan dan gerakan lengan atau kaki yang sederhana
b. Peningkatan elastisitas otot dan ligamentum di sekitar persendian. Latihan untuk meningkatkan elastisitas otot dan ligamentum ini dapat dilakukan dengan gerakan peregangan terhadap kelompok otot besar yang ditahan dalam waktu tertentu. Pelaksanaannya harus dilakukan secara perlahan-lahan dan tidak terlampau memaksakan.
c. Untuk mempersiapkan tubuh baik fisik maupun mental ke aktivitas yang dilaksanakan
2. Kegiatan Inti
Kegiatan inti biasanya merupakan gerakan yang sudah lebih aktif dan melibatkan gerakan yang disiplin untuk melatih bagian tubuh tertentu dengan pengulangan yang cukup. Kegiatan ini hendaknya mengikuti alur tertentu yang sudah direncanakan sebelumnya, gerakan yang dipilih dinilai dari bagian atas tubuh ke bawah atau dari bagian kepala, bahu, lengan, pinggang ke gerakan gabungan. Biasanya pelaksanaan dari bagian inti ini bergerak secara progresif, yaitu dari tahap gerakan tunggal bagian tubuh hingga pergerakan bagian tubuh secara bersamaan
3. Pendinginan (Cooling-down)
Kegiatan tahap akhir dari senam aerobik ini harus melakukan gerakan-gerakan yang menurunkan frekuensi denyut nadi untuk kembali mendekati denyut nadi yang normal. Pelaksanaan gerakan pendinginan ini harus merupakan penurunan secara bertahap dari gerakan dengan intensitas tinggi ke gerakan yang berintensitas rendah. Ditinjau dari segi faal tubuh, perubahan gerakan yang bertahap tadi berguna untuk menghindari penumpukan asam laktat yang menyebabkan kelelahan dan rasa pegal pada otot di tempat tertentu. Dengan demikian proses pendinginan ini dimaksudkan untuk mengurangi penumpukan dari aam laktat yang merupakan sisa pembakaran dalam otot

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan senam aerobik yaitu intensitas latihan, frekuensi latihan, dan lamanya latihan.

C. Hakikat Kompetensi
1. Pengertian
Kompetensi sering diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam hal tertentu. Kemampuan ini akan mencerminkan tingkat penguasaan seseorang terhadap sesuatu yang dilakukannya dengan acuan tertentu. Seperti aspek pengetahuan, melalui uji kompetensi maka tingkat pengetahuan seseorang akan tergambar dengan indikator-indikator pengetahuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam hal ini kompetensi menggambarkan tingkat pencapaian tujuan dari suatu aktivitas. Berkenaan dengan hal ini, Yamin (2005:127) menjelaskan, “Kompetensi adalah kemampuan dasar yang dapat dilakukan oleh seseorang pada tahap pengetahuan, keterampilan dan sikap.”

2. Unsur-unsur Kompetensi
Kompetensi sebagai suatu kemampuan mengindikasikan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi yaitu pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik) dan sikap (afektif). Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa seseorang mempunyai kompetensi terhadap suatu bidang, jika orang yang bersangkutan mempunyai pengetahuan yang memadai tentang bidang tersebut, mempunyai keterampilan untuk menerapkan pengetahuannya dalam wujud nyata, dan mempunyai sikap yang baik dalam melaksanakan tugas-tugas bidangnya.
Dalam konteks pendidikan, Bloom (1974) dalam Makmun (2005:26) mengemukakan sebagai berikut: “Dalam rangka mengembangkan perangkat tujuan-tujuan pendidikan yang berorientasi pada perilaku (behavioral objectives) yang dapat diamati (observable) dan dapat diukur (measurable) secara ilmiah (scientific), taksonomi perilaku dibagi dalam tiga kategori yaitu: 1) the cognitive domain, the affective domain, dan 3) the psychomotor domain.” Penjelasan tersebut memberikan makna bahwa kompetensi seseorang dapat diindikasi melalui perilakunya, baik dalam domain kognitif, psikomotorik maupun afektif.
1) Pengetahuan (Kognitif)
Domain kognitif menitikberatkan pada proses intelektual dan proses berfikir seorang individu. Hamalik (1995:80), Nasution (1999:49) dan Yamin (2005:28) membagi jenjang-jenjang domain kognitif sebagai berikut:

a. Pengetahuan (knowledge). Pengetahuan merupakan pengingatan bahan-bahan yang telah dipelajari, mulai dari fakta sampai dengan teori yang menyangkut informasi yang bermanfaat, seperti: fakta-fakta, metode dan prosedur, konsep dan prinsip.
b. Pemahaman (comprehension). Pemahaman adalah abilitet untuk menguasai pengertian. Pemahaman tampak pada alih bahan dari satu bentuk ke bentuk lainnya, penafsiran, dan memperkirakan, seperti memahami fakta dan prinsip.
c. Penerapan (application). Penerapan adalah abilitet untuk menggambarkan bahan yang telah dipelajari ke dalam situasi baru yang nyata, meliputi: aturan, metode, konsep, prinsip dan teori.
d. Analisis (analysis). Analisis adalah abilitet untuk merinci bahan menjadi bagian-bagian supaya struktur organisasinya mudah dipahami, meliputi identifikasi bagian-bagian, mengkaji hubungan antar bagian-bagian, mengenali prinsip-prinsip organisasi.
e. Sintesis (synthesis). Sintesis adalah abilitet mengkombinasikan bagian-bagian menjadi suatu keseluruhan baru, yang menitikberatkan pada tingkah laku kreatif dengan cara memformulasikan pola dan struktur baru.
f. Evaluasi (evaluation). Evaluasi adalah abilitet untuk mempertimbangkan nilai bahan untuk maksud tertentu berdasarkan kriteria internal dan eksternal.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa kompetensi seorang individu terhadap bidang yang dikerjakannya dapat diindikasi, salah satunya melalui perilaku kognitif yang meliputi tingkat pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi bidang tugasnya.

2) Keterampilan (Psikomotorik)
Domain psikomotorik menitikberatkan pada aspek gerakan-gerakan jasmaniah dan kontrol jasmaniah. Yamin (2005:37) menjelaskan, “Kawasan psikomotor adalah kawasan yang berorientasi kepada keterampilan motorik yang berhubungan dengan anggota tubuh, atau tindakan (action) yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otot.”
Mengenai jenjang-jenjang domain psikomotorik dijelaskan oleh Singer dan Dick (1974) dalam Hamalik (1995:82) sebagai berikut:

a. Contacting, manipulating, and/or moving an object
b. Controlling the body or object, as in balancing
c. Moving and/or controlling the body or parts of the body in space in a brief timed act or sequence under predictable and/or unpredictable conditions
d. Making controlled, appropriate sequential movements (not time restricted) in a predictable and/or unpredictable and changing situation

Sedangkan menurut Simpson (1966) dalam Hamalik (1999:82) dijelaskan sebagai berikut:

a. Persepsi (perception). Penggunaan lima organ indera untuk memperoleh kesadaran tentang tujuan dan untuk menerjemahkannya menjadi tindakan (action)
b. Kesiapan (set). Dalam keadaan siap untuk merespon secara mental, fisik dan emosional
c. Respon terbimbing (guided response). Bantuan yang diberikan kepada individu melalui pertunjukkan peran model
d. Mekanisme. Respon fisik yang telah dipelajari menjadi kebiasaan
e. Respon yang unik (complex overt response). Suatu tindakan motorik yang rumit dipertunjukkan dengan terampil dan efisien.
f. Adaptasi (adaption). Mengubah respon-respon dalam situasi-situasi yang baru
g. Originasi. Menciptakan tindakan-tindakan baru

Nasution (1999:50) menjelaskan tentang jenjang-jenjang dalam domain psikomotorik sebagai berikut:

a. Melakukan gerakan fisik
b. Menunjukkan kemampuan perceptual secara visual, auditif, taktikal, kinestetik, serta mengkoordinasi seluruhnya
c. Memperlihatkan kemampuan fisik yang mengandung ketahanan, kekuatan, kelenturan, kelincahan, dan kecepatan bereaksi
d. Melakukan gerakan yang terampil serta terkoordinasi dalam permainan, olahraga dan kesenian
e. Mengadakan komunikasi non-verbal yakni dapat menyampaikan pesan melalui gerak muka, gerakan tangan, penampilan dan ekspresi kreatif

Yamin (2004:38) mengelompokkan ranah psikomotorik dalam empat kategori sebagai berikut:

a. Gerakan seluruh badan (gross body movement)
b. Gerakan yang terkoordinasi (coordination movement)
c. Komunikasi non verbal (non verbal communication)
d. Kebolehan dalam bicara (speech behaviour)

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jenjang-jenjang dalam domain psikomotorik tidak bersifat tersusun atau berjenjang seperti halnya domain kognitif. Hal ini berarti seorang individu dapat melakukan ranah psikomotorik secara acak bergantung pada kemampuannya masing-masing. Seperti halnya seseorang yang hanya mampu melakukan gerakan seluruh badan saja, atau bahkan dapat melakukan gerakan yang terkoordinasi tetapi kemampuan dalam bicaranya kurang. Sebaliknya mempunyai kebolehan dalam bicara tetapi tidak mampu melakukan gerakan secara terkoordinasi.
Kemampuan motorik ini biasanya digunakan untuk mengukur kemampuan gerak atau keterampilan seorang individu dalam suatu tugas fisik. Dalam hal ini kompetensi seorang individu dapat terlihat dari perilaku psikomotoriknya, khususnya kualitas gerak saat melaksanakan tugas geraknya.

3) Sikap (Afektif)
Domain afektif meliputi sikap, perasaan, emosi, dan karakteristik moral yang merupakan aspek-aspek penting perkembangan individu. Berkenaan dengan hal ini, Yamin (2004:32) menjelaskan, “Kawasan afektif merupakan tujuan yang berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai dan sikap hati (attitude) yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu.” Selanjutnya Hamalik (1995:81) mengemukakan sebagai berikut:

Hierarki matra afektif, meliputi:
a. Penerimaan (receiving); suatu keadaan sadar, kemauan untuk menerima, perhatian, terpilih.
b. Sambutan (responding); suatu sikap terbuka ke arah sambutan, kemauan untuk merespon, kepuasan yang timbul karena sambutan.
c. Menilai (valuing); penerimaan nilai-nilai, preferensi terhadap suatu nilai, membuat kesepakatan sehubungan dengan nilai.
d. Organisasi (organization); suatu konseptualisasi tentang suatu nilai, suatu organisasi dari suatu system nilai.
e. Karakterisasi dengan suatu komplek nilai; suatu formasi mengenai perangkat umum, suatu manifestasi daripada komplek nilai.

Kemudian Nasution (1999:50) menjelaskan tentang domain afektif sebagai berikut:

Ranah afektif berkenaan dengan kesadaran akan sesuatu, perasaan, dan penilaian tentang sesuatu. Ranah afektif meliputi:
a. Memperhatikan, menunjukkan minat, sadar akan adanya suatu gejala, kondisi, situasi atau masalah tertentu
b. Merespon atau memberi reaksi terhadap gejala, situasi atau kegiatan itu sambil merasa kepuasan
c. Menghargai, menerima suatu nilai, mengutamakannya, bahkan menaruh komitmen terhadap nilai tersebut
d. Mengorganisasi nilai dengan mengkonsepsualisasi dan mensistematisasinya dalam pikiran
e. Mengkarakterisasi nilai-nilai, menginternalisasinya, menjadikannya bagian dari pribadinya dan menerimanya sebagai falsafah hidup

Yamin (2004:33) mengemukakan tentang domain afektif yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Tingkat Menerima (Receiving)
Menerima di sini diartikan sebagai proses pembentukan sikap dan perilaku dengan cara membangkitkan kesadaran tentang adanya stimulus tertentu yang mengandung estetika
b. Tingkat Tanggapan (Responding)
Tangapan atau jawaban mempunyai beberapa pengertian, antara lain:
1) Tanggapan dilihat dari segi pendidikan diartikan sebagai perilaku baru dari sasaran didik sebagai manifestasi dari pendapatnya yang timbul karena adanya perangsang pada saat belajar
2) Tanggapan dilihat dari segi psikologi perilaku adalah segala perubahan perilaku organisme yang terjadi atau timbul karena adanya perangsang dan perubahan tersebut dapat diamati
3) Tanggapan dilihat dari segi adanya kemauan dan kemampuan untuk bereaksi terhadap suatu kejadian dengan cara berpartisipasi dalam berbagai bentuk
c. Tingkat Menilai (Evaluating)
Menilai dapat diartikan sebagai:
1) Pengakuan secara objektif bahwa seorang individu itu objek, sistem atau benda tertentu mempunyai kadar manfaat
2) Kemauan untuk menerima suatu objek tersebut mempunyai nilai atau kekuatan, dengan cara menyatakan dalam bentuk sikap atau perilaku positif atau negatif
d. Tingkat Organisasi (Organization)
Organisasi dapat diartikan sebagai:
1) Proses konseptualisasi nilai-nilai dan menyusun hubungan antar nilai-nilai tersebut, kemudian memilih nilai-nilai yang terbaik untuk diterapkan
2) Kemungkinan untuk mengorganisasikan nilai-nilai, menentukan hubungan antar nilai dan menerima bahwa suatu nilai itu lebih dominan dibanding nilai yang lain apabila kepadanya diberikan berbagai nilai
e. Tingkat Karakterisasi (Characterization)
Karakterisasi adalah sikap dan perbuatan yang secara konsisten dilakukan oleh seseorang selaras dengan nilai-nilai yang dapat diterimanya, sehingga sikap dan perbuatan itu seolah-olah telah menjadi ciri-ciri pelakunya


Romiszowski (1984) dalam Yamin (2004:36) mengelompokkan aspek afektif menjadi dua tipe perilaku yang berbeda sebagai berikut:

1) Reflek yang terkondisi (reflexive conditional) yaitu reaksi kepada stimuli khusus tertentu yang dilakukan secara spontan tanpa direncanakan lebih dahulu tujuan reaksinya
2) Sukarela (voluntary) adalah aksi dan reaksi yang terencana untuk mengarahkan ke tujuan tertentu dengan cara membiasakan dengan latihan-latihan untuk mengontrol diri

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa domain afektif berhubungan dengan respon seseorang terhadap sesuatu yang diwujudkan melalui sikap hati, baik secara positif maupun negatif. Respon yang diberikan pun dapat bersifat reflek serta dapat pula bersifat sukarela dan terencana. Dengan demikian maka untuk mengetahui kompetensi seseorang dalam bidang tugasnya dapat pula dengan melihat aspek afektifnya yang diantaranya berupa sikap, minat, emosi, komitmen dan penilaiannya terhadap suatu stimulus.


D. Profil Kompetensi Instruktur Senam Aerobik
Profil sering diartikan sebagai gambaran mengenai sesuatu objek. Oleh karena yang menjadi pembahasan ini adalah instruktur senam aerobik, maka profil yang dimaksud adalah gambaran tentang kompetensi instruktur senam aerobik.
Sanggar senam atau pusat kebugaran jasmani yang menyediakan sarana olahraga senam kebugaran yang dalam hal ini adalah senam aerobik, pada saat ini bukan saja sebagai tempat untuk mengembangkan kuantitas dan kualitas jasmani, tetapi merupakan tempat penyaluran aktivitas sosial dan sarana pemanfaatan waktu luang. Hal ini menjadikan keberadaan sanggar senam dan pusat kebugaran jasmani menjadi salah satu jenis kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat Kota Bandung.
Instruktur senam aerobik sebagai salah satu bagian dari unsur organisasi yaitu unsur manusia (human) menempati posisi penting dalam kerangka kerja organisasi usaha. Hal ini dikarenakan organisasi baru ada jika ada unsur manusia yang bekerja sama, ada pemimpin dan ada yang dipimpin (bawahan) yang dalam hal ini adalah instruktur senam aerobik sebagai pelaksana di lapangan.
Ditinjau dari latar belakang pendidikan formal, pada umumnya instruktur senam aerobik berasal dari institusi pendidikan yang beragam mulai dari sekolah lanjutan sampai dengan perguruan tinggi. Sedangkan dari latar belakang pendidikan non-formal, pada umumnya instruktur senam aerobik telah mempunyai sertifikat sebagai instruktur senam aerobik dari lembaga-lembaga yang mengadakan kegiatan pelatihan, penataran dan seminar tentang keolahragaan, khususnya olahraga kebugaran. Hal ini menggambarkan bahwa ditinjau dari latar belakang pendidikan, maka instruktur senam aerobik relatif dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan mempunyai kinerja yang baik.
Ditinjau dari pengalaman bekerja menjadi instruktur senam aerobik, pada umumnya pengalaman bekerja para instruktur senam aerobik relatif beragam mulai dari yang kurang lebih satu tahun sampai dengan yang sudah mencapai 10 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa pengalaman kerja instruktur senam aerobik akan mempengaruhi kemampuan kerja dan diduga mempunyai kompetensi yang baik. Hal ini memberikan gambaran pula bahwa para instruktur senam aerobik di Kota Bandung mempunyai kompetensi yang baik.
Terlepas dari beberapa hasil pengamatan tersebut di atas, persyaratan atau kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang instruktur senam aerobik untuk menggambarkan kompetensinya dapat mengacu pada penjelasan Simanjuntak (2006:1) tentang standar kompetensi sebagai berikut:

Standar kompetensi mencakup persyaratan kunci pelaksanaan tugas di tempat kerja dan terdiri atas empat komponen:
1) Elemen yang menggambarkan garis besar aktivitas-aktivitas terpenting yang akan dilaksanakan
2) Kriteria pelaksanaan tugas yang merinci hal-hal yang harus dilakukan untuk menunjukkan kemampuan seseorang
3) Beberapa variabel yang dapat menggambarkan relevansi konteks dan kondisi pada suatu unit
4) Penentuan bukti yang memberikan gambaran bagaimana kompetensi akan diakui

Kemudian dalam http://www.pusdiknakes.or.id/ dijelaskan tentang standar kompetensi kaitannya dengan kompetensi instruktur senam aerobik sebagai berikut:
1) Standar yang menggambarkan pengetahuan, keterampilan maupun sikap yang disyaratkan dalam pekerjaan
2) Dibuat oleh lembaga/instansi yang bersangkutan
3) Merupakan pedoman dasar pelatihan, untuk menentukan kualifikasi maupun penilaian
4) Merupakan pedoman bagi pelatih maupun evaluator terhadap penyelenggaraan dan penilaian pelatihan

Selain penjelasan di atas, sebaiknya kompetensi seorang instruktur senam aerobik dibuktikan secara formal melalui sertifikat atau bukti konkrit lain. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Simanjuntak (2006:1) sebagai berikut:
Sertifikat kompetensi adalah pengakuan formal bahwa seseorang telah memperoleh kompetensi dalam suatu bidang tertentu, artinya: 1) Orang itu harus dapat mendemonstrasikan pelaksanaan pekerjaan yang disyaratkan di tempat kerja, 2) Orang ini mungkin saja telah beberapa lama mengembangkan dan melatih keterampilannya di tempat kerja dan 3) Orang itu akan dinilai berdasarkan kompetensi
Berkenaan dengan tujuan perusahaan yaitu memperoleh laba sebesar-besarnya, maka keberadaan instruktur senam aerobik yang berhubungan langsung dengan konsumen merupakan tulang punggung terhadap maju-mundurnya perusahaan. Kemampuan berkomunikasi dan interaksi dengan para konsumen merupakan modal utama yang harus dikembangkan oleh instruktur senam aerobik. Dengan demikian maka kompetensi para instruktur senam aerobik akan tergambar melalui kemampuannya dalam komunikasi dan interaksi dengan para konsumen, menyusun program latihan, menerapkan program latihan sesuai tujuan latihan para konsumen dan kemampuan memberikan bimbingan dan arahan kepada para konsumen untuk mencapai tujuan latihannya.
Berkaitan dengan kemampuan seorang instruktur senam aerobik layaknya seorang pendidik atau guru bagi para anggotanya, Safa’at (2000:20) mengemukakan tentang upaya dalam membangun kompetensi diri yaitu sebagai berikut:

Ada 4 hal penting yang dapat diusahakan oleh guru untuk membangun kemantapan diri sekaligus mengembangkan kompetensi diri dan kompetensi mengajarnya, diantaranya:
1) Membangun kemantapan diri daripada mereduksi ekspektasi dengan terus melakukan regulasi diri yang relevan dengan pengembangan profesinya;
2) Mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah (seminar, lokakarya, diskusi ilmiah, dsb) secara berkesinambungan dalam merespons secara aktif setiap isu-isu terbaru yang berkembang di dunia pendidikan;
3) Mempelajari hasil-hasil penelitian dari berbagai literatur tentang kompetensi mengajarnya yang berhubungan dengan prestasi subjek didik;
4) Sebagai hasil dari analisis tugas mengajar pada tingkat dan kurikulum yang berbeda.

Berdasarkan pendekatan perilaku yang meliputi aspek kognitif, psikomotorik dan afektif, maka profil kompetensi instruktur senam aerobik aerobik senam aerobik dapat disusun sebagai berikut:
1. Profil Kompetensi Instruktur Senam Aerobik Berdasarkan Aspek Afektif

Instruktur senam aerobik merupakan salah satu bagian penting dari keseluruhan manajemen organisasi usaha sanggar senam atau pusat kebugaran, karena seorang instruktur selalu berhadapan langsung dengan konsumen, sehingga kualitas manajemen sanggar senam atau pusat kebugaran sering dilihat dengan berdasar pada kualitas instrukturnya.
Domain afektif sebagai bagian dari indikator perilaku dapat dijadikan acuan dalam menggambarkan kompetensi seorang instruktur aerobik. Aspek-aspek afektif yang dapat dijadikan indikator untuk mengetahui kompetensi instruktur senam aerobik adalah sebagai berikut:
a. Aspek Menerima (Receiving)
Dalam hal ini seorang instruktur senam aerobik harus dapat menerima berbagai tuntutan pekerjaan seperti instruksi manajer, tugas dan wewenang, jadwal melatih, ekspektasi para member. Juga harus memiliki kesadaran bahwa kesulitan-kesulitan yang dihadapi di lapangan merupakan tantangan pekerjaan.

b. Aspek Tanggapan (Responding)
Dalam hal ini seorang instruktur senam aerobik harus dapat memberikan tanggapan yang bersifat positif dari berbagai informasi dan kritikan yang ditujukan kepadanya. Juga harus dapat berpartisipasi aktif terhadap berbagai kegiatan yang ada dengan memberikan informasi dan tanggapan yang proporsional sesuai tugas dan wewenangnya.




c. Aspek Menilai (Evaluating)
Dalam hal ini seorang instruktur senam aerobik harus memberikan informasi dan penilaian yang objektif bagi manajemen dan member mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan lingkup tugas dan wewenangnya. Selain itu harus dapat melakukan perbaikan terhadap berbagai hal yang dianggap masih kurang maksimal, terutama berkaitan dengan performanya di lapangan.

d. Organisasi (Organization)
Dalam hal ini seorang instruktur senam aerobik harus dapat mengorganisasi kebutuhan, baik kebutuhan pribadi maupun manajemen. Hal ini berarti seorang instruktur senam aerobik harus dapat menetapkan skala prioritas dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya.

e. Karakterisasi (Characterization)
Dalam hal ini seorang instruktur senam aerobik harus dapat bersikap secara konsisten dengan nilai-nilai yang diterimanya, sehingga sikapnya merupakan cerminan atau ciri khasnya. Hal ini berarti seorang instruktur senam aerobik harus mempunyai kejujuran, keyakinan yang kuat, dan motivasi yang baik.

2. Profil Kompetensi Instruktur Senam Aerobik Berdasarkan Aspek Kognitif

Domain kognitif sebagai bagian dari indikator perilaku dapat dijadikan acuan dalam menggambarkan kompetensi seorang instruktur aerobik. Aspek-aspek kognitif yang dapat dijadikan indicator untuk mengetahui kompetensi instruktur senam aerobik adalah sebagai berikut:

a. Pengetahuan (Knowledge)
Dalam hal ini seorang instruktur senam aerobik harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang senam aerobik dan berbagai hal yang berkaitan dengan kebugaran jasmani dan kesehatan. Hal utama yang harus dimiliki pada level ini diantaranya adalah mampu menyebutkan, menggambarkan dan mengurutkan susunan latihan senam aerobik untuk berbagai tujuan.

b. Pemahaman (Comprehension)
Dalam hal ini seorang instruktur senam aerobik harus menjelaskan pengetahuan dan informasi yang diperolehnya dengan kata-kata sendiri. Hal ini berarti instruktur senam aerobik harus dapat diantaranya menjelaskan tentang senam aerobik, kebugaran jasmani dan kesehatan. Selain itu harus dapat mengkaji ulang akibat dari kesalahan latihan.

c. Penerapan (Aplication)

d. Analisis (Analysis)

e. Sintesis (Synthesis)

f. Evaluasi (Evaluation)

 

Tuesday, May 26, 2009

Pengaruh Metode Interval Intensif Terhadap Kemampuan Dinamis Aerobik Dalam Olahraga Renang Gaya Bebas

A. Hakikat Olahraga Renang
Gerakan dalam renang merupakan salah satu gerakan tertua di dunia. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Murni (1999:1) bahwa, “Di samping gerakan-gerakan jalan, lari, lompat, lempar, dan memanjat maka renang termasuk gerakan tertua di dunia.”
Jika melihat ke belakang, yaitu beberapa abad yang lampau terutama pada zaman pra-sejarah, di mana manusia saat itu dituntut untuk mempertahankan hidupnya dengan memanfaatkan dan memberdayakan potensi diri dan lingkungan. Beberapa upaya untuk mempertahankan diri di tengah berlakunya hukum rimba, di mana manusia hidup berkelompok-kelompok dan saling menguasai untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Oleh karena itu mereka dituntut untuk menguasai beberapa keterampilan seperti keterampilan berburu, berperang, dan berenang.
Dalam perkembangannya berenang tidak saja sebagai salah satu keterampilan yang digunakan untuk mempertahankan hidup seperti zaman dahulu, tetapi sudah bergeser menjadi suatu aktivitas yang dapat ditujukan untuk pendidikan, rekreasi, prestasi, dan rehabilitasi. Berkaitan dengan hal ini, Haller (1982:8) menjelaskan:

Renang bukan saja merupakan olahraga, tetapi juga merupakan sarana untuk mengisi waktu luang. Anda dapat berenang demi kesenangan sendiri, tetapi anda juga dapat berlatih untuk berenang semakin lama semakin cepat sampai akhirnya anda dapat ikut serta bertanding dan memenangkan pertandingan nasional ataupun internasional.

Renang merupakan salah satu cabang olahraga yang memasyarakat, baik di daerah pedesan maupun perkotaan. Hampir sebagian besar masyarakat menggemari olahraga renang. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya pengunjung kolam renang di setiap kolam renang.
Renang sebagai salah satu cabang olahraga prestasi, menempati kedudukan yang penting terutama dalam suatu even olahraga yang bersifat menyeluruh seperti Porprov, PON, Sea Games, Asian Games dan Olympiade. Hal ini dikarenakan nomor yang dipertandingkan dalam olahraga renang relatif banyak, sehingga memungkinkan untuk menetapkan olahraga renang sebagai lahan pengumpulan medali.
Pada umumnya dalam pembelajaran renang perlu diperhatikan beberapa hal, Murni (1999:13) menjelaskan sebagai berikut:

1. Prinsip mekanika
2. Prinsip psychologis
3. Pengenalan air
4. Renang gaya bebas
5. Renang gaya punggung
6. Renang gaya kupu-kupu
7. Renang gaya dada

Berdasarkan penjelasan di atas maka dalam proses pembelajaran renang ditinjau dari prinsip mekanika perlu memperhatikan segi hidrodinamika seperti ikan dan kapal di air, dan aerodinamika seperti burung dan pesawat di udara. Murni (1999:13) menjelaskan:

Pada prinsipnya tinjauan dari gerak maju kapal di air dan pesawat di udara adalah untuk memperbesar daya angkat, memperkecil tenaga penghambat, dan memperbesar tenaga penggerak. Begitu juga pada renang bila menginginkan daya laju yang optimal tentunya prinsip-prinsip ini harus dapat diterapkan dengan baik.
Secara psikologis, faktor-faktor kejiwaan yang harus dikembangkan dalam pembelajaran renang diantaranya memberikan kegembiraan, rasa senang, keberanian, dan rasa percaya diri. Murni (1999:19) menjelaskan sebagai berikut:

Prinsip-prinsip psychologis yang harus dikembangkan terhadap diri anak didik dalam mengikuti pembelajaran renang agar penguasaan materi lebih efektif dan efisien, yaitu: a) memupuk rasa senang terhadap olahraga renang, b) memupuk keberanian, c) meningkatkan rasa percaya diri, d) meningkatkan ketekunan.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa renang merupakan salah satu olahraga yang dapat ditujukan untuk pendidikan, rekreasi, prestasi dan rehabilitasi. Dalam proses pembelajaran renang, maka perlu diperhatikan beberapa aspek yaitu biomekanika dan psikologis.

B. Renang Gaya Bebas
Renang gaya bebas merupakan gaya yang paling disukai oleh para perenang, mulai dari anak-anak sampai dewasa dikarenakan renang gaya bebas selain paling populer dari gaya yang lain, gaya bebas juga merupakan gaya yang paling mudah untuk dipelajarinya. Berkaitan dengan hal ini, Thomas (2003:13) menjelaskan: “Gaya bebas merupakan gambaran mengenai berenang. Gaya ini merupakan gaya yang tercepat dan berdasarkan gaya ini pula kehebatan anda akan bernilai.”
Renang gaya bebas menyerupai cara berenang seekor binatang, oleh sebab itu disebut gaya crawl yang artinya merangkak. Gaya bebas ini sering disebut dengan nama rimau (harimau) dan ada pula yang menyebutnya sebagai gaya anjing (dog style).
Tyler (2000:14) membagi teknik renang gaya bebas menjadi empat tingkat dengan bidang-bidang pemusatannya sebagai berikut: “Sikap tubuh, gerakan kaki, gerakan lengan, bernapas, dan koordinasi gerak.” Penjelasan dan uraian mengenai empat bidang tersebut dijelaskan oleh Tyler (2000:14-19) sebagai berikut:

1. Posisi Tubuh
a. Kedudukan tubuh perenang berada dalam keadaan tengkurap, sikap melintang, lengan lurus di atas kepala “mengambang seperti kayu”
b. Garis permukaan air pada kepala anda berada tepat di atas alis mata
c. Seluruh tubuh sedatar mungkin dalam air
2. Gerakan Kaki
a. Kaki secara bergantian digerakkan ke atas dan ke bawah
b. Menendang, gerakannya dimulai dari pangkal paha dan meneruskannya hingga ke jari kaki
c. Lutut dan pergelangan kaki jangan membengkok terlalu besar
d. Jari-jari kaki harus secara wajar mengarah ke dalam, saling berhadapan
3. Gerakan Tangan
a. Tubuh harus dalam keadaan tengkurap dengan kedua tangan menjulur ke atas kepala
b. Fase/tahap gerak, menarik, dimulai dengan salah satu lengan melakukan gerak “menangkap” dan selanjutnya ditarik ke bawah
c. Lengan yang lain lurus di atas kepala
Ada empat tingkatan gerak menarik lengan: 1) menangkap dengan telapak tangan ke arah kaki, 2) meraih, 3) menarik ke arah belakang sepanjang bidang hayal melalui garis pertengahan tubuh, sambil menjaga sikut tetap di atas permukaan air, 4) mendorong air ke arah belakang hingga lengan berada dalam posisi lurus, dengan ibu jari dalam kedudukan menyentuh paha. Dengan demikian kita akan lihat bahwa kedua tangan kita akan tetap pada posisi yang berlawanan antara yang satu dengan yang lainnya.
4. Bernapas dan Koordinasi Gerak
a. Bernapas
- Bernapas dilakukan dengan memutar bukan mengangkat kepala ke samping sampai cukup untuk membebaskan mulut di atas permukaan air, ini dilakukan pada saat lengan pada posisi siap mengambil napas
- Kepala berputar kembali hingga posisi alis mata, pada saat yang sama dengan berakhirnya sikap pemulihan
- Sebelum setiap kali harus mengeluarkan napas melalui mulut dan hidung, sebelum memutar kepala
b. Koordinasi Gerak
Gerakan kaki biasanya menghasilkan tendangan dengan enam hitungan yang berarti ada tiga gerakan tendangan ke bawah untuk satu tarikan lengan.
Mengenai gerakan lengan pada renang gaya bebas dapat dilihat pada gambar di bawah ini:











Gambar 1.2
Menangkap Air dengan Telapak Tangan ke Arah Kaki




















Gambar 2.2
Meraih











Gambar 3.2
Menarik Air ke Arah Belakang










Gambar 4.2
Mendorong Air ke Arah Belakang
C. Hakikat Latihan
1. Pengertian
Prestasi maksimal yang diraih oleh setiap atlet bukan datang dengan tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses yang sistematis dan terarah. Proses yang dimaksud adalah aktivitas rutin dengan memberdayakan potensi melalui dukungan berbagai fasilitas yang dilaksanakan secara bertahap sampai tercapainya tujuan. Aktivitas rutin yang dimaksud adalah latihan, karena setiap hari atlet diberikan tugas-tugas fisik maupun psikis yang dilaksanakan secara berulang-ulang dan semakin lama semakin berat beban tugasnya. Berkaitan dengan latihan, Harsono (1988:101) menjelaskan, “Latihan adalah suatu proses yang sistematis dari berlatih atau bekerja, yang dilakukan secara berulang-ulang, dengan kian hari kian menambah jumlah beban latihan atau pekerjaanya.” Gunarsa (1989:6) mengatakan bahwa, “Latihan adalah proses yang bertahap, berulang-ulang serta disesuaikan dengan kondisi perorangan.” Supartono (1989:18) menjelaskan, “Latihan adalah perencanaan suatu proses pengembangan kemampuan berolahraga yang bersifat multi-kompleks yang berisi materi, metode dan pengorganisasian pengukuran sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditentukan.”
Sedangkan Giriwijoyo (1992:78) mengemukakan:


Latihan adalah upaya sadar yang dilakukan secara berkelanjutan dan sistematis untuk meningkatkan kemampuan fungsional raga yang sesuai dengan tuntutan penampilan cabang olahraga itu, untuk dapat menampilkan mutu tinggi cabang olahraga itu pada aspek kemampuan dasar maupun pada aspek kemampuan keterampilannya.

Berdasar pada penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa latihan merupakan suatu proses yang sistematis dari suatu kegiatan, yang dilakukan secara berulang-ulang, dengan kian hari kian menambah jumlah beban / tugas untuk mencapai tujuan tertentu.
Latihan yang dilakukan oleh atlet meliputi beberapa dimensi atau aspek yaitu fisik, teknik, taktik dan mental. Keempat aspek tersebut penting dalam upaya pencapaian tujuan secara maksimal. Hal ini didasarkan pada kemampuan teknik, taktik dan mental atlet yang baik jika tidak didukung oleh kemampuan fisiknya, maka cenderung tidak akan dapat berlangsung lama dalam pertandingan, karena akan mengalami kelelahan yang berlebihan sehingga secara otomatis akan mengganggu kemampuan teknik. Jika fisik dan teknik terganggu, maka strategi apapun akan sia-sia dan mental pantang menyerah pun akan menjadi percuma, yang pasti penampilan dan prestasi menjadi kurang optimal. Hal ini berarti pula bahwa keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang saling menentukan dalam mencapai tujuan secara maksimal. Berkaitan dengan pengertian keempat aspek tersebut, penulis menyimpulkan pendapat Harsono (1988) adalah sebagai berikut:
1. Latihan fisik (physical training) adalah latihan untuk memperkembang kemampuan fisik baik secara menyeluruh maupun spesifik.
2. Latihan teknik (technical training) adalah latihan untuk mempermahir gerakan yang diperlukan dalam suatu cabang olahraga.
3. Latihan taktik (tactical training) adalah latihan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan interpretasi atau daya tafsir pada atlet dalam pertandingan.
4. Latihan mental (psychological training) adalah latihan yang lebih menekankan pada perkembangan kedewasaan dan emosional atlet dalam menghadapi tekanan fisik dan psikis pertandingan.
Penjelasan di atas menggambarkan betapa pentingnya keempat aspek latihan tersebut dalam kerangka pembinaan atlet secara menyeluruh. Keempat aspek tersebut memberikan peranan yang relatif besar terhadap pencapaian tujuan/hasil.

1) Aspek Fisik
Aspek kondisi fisik merupakan aspek yang paling mendasar bagi pengembangan aspek-aspek lainnya dan memberikan peranan yang sangat penting dalam pencapaian suatu prestasi olahraga. Hal ini dijelaskan oleh Harsono (1988:153) bahwa, “Sukses dalam olahraga sering menuntut keterampilan yang sempurna dalam situasi stress fisik yang tinggi, maka semakin jelas bahwa kondisi fisik memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan prestasi atlet.”
Moeloek (1984:12) menyatakan bahwa, “Peningkatan yang diperoleh dari latihan fisik dapat dilihat antara lain berupa peningkatan kemampuan gerak, tidak cepat merasa lelah, peningkatan keterampilan (skill) dan sebagainya.” Kemudian Sajoto (1988:16) mengemukakan, “Kondisi fisik adalah salah satu persyaratan yang sangat diperlukan dalam usaha peningkatan prestasi seorang atlet bahkan dapat dikatakan sebagai keperluan yang tidak dapat ditunda-tunda atau ditawar-tawar lagi.”
Beberapa penjelasan di atas menegaskan bahwa latihan kondisi fisik merupakan bagian yang paling mendasar dalam usaha meningkatkan prestasi atlet. Oleh karena itu dalam proses pelatihan cabang olahraga perlu adanya penekanan pada aspek fisik dengan tidak mengenyampingkan kondisi-kondisi lainnya seperti teknik, taktik dan mental.
Mengenai komponen-komponen kondisi fisik oleh Setiawan (1991:112) dijelaskan, “Unsur pokok kondisi fisik itu adalah: 1) daya tahan jantung-pernafasan-peredaran darah, 2) kelentukan persendian, 3) kekuatan, 4) daya tahan otot, 5) kecepatan 6) agilitas, dan 7) power.” Kemudian Giriwijoyo (1992:44) mengemukakan sebagai berikut:

… komponen-komponen itu sesungguhnya terdiri dari:
o komponen anatomical fitness: body composition,
o kondisi kesehatan statis: biological function,
o komponen physiological fitness yang terdiri dari:
- kemampuan/kualitas dasar ES I:
1.
kekuatan dan daya tahan ototmuscle strength
2. muscle explosive power
3. muscle endurance
4. flexibility
5. reaction time
6. coordination
7. balance
- kemampuan/kualitas dasar ES II:
1. endurance
- kemampuan penampilan yang merupakan gabungan dari berbagai kemampuan/kualitas dasar ES I:
1. speed
2. agility

Beberapa pendapat tersebut di atas terlihat adanya kesamaan mengenai komponen-komponen kondisi fisik. Dengan demikan dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen fisik itu terdiri dari kekuatan, kecepatan, kelentukan, daya tahan dan gabungan dari beberapa komponen tersebut.
Dalam proses pelatihan kondisi fisik perlu memperhatikan tuntutan fisik dari cabang olahraganya. Oleh karena cabang olahraga yang menjadi objek penelitian ini adalah olahraga renang, maka komponen kondisi fisik yang dilatih pun sesuai dengan tuntutan cabang olahraga renang itu sendiri, yaitu daya tahan, stamina dan power. Harsono (1988:204) menjelaskan, “Komponen fisik beberapa anggota tubuh yang diperlukan dalam cabang olahraga renang adalah kelentukan punggung, power lengan, kekuatan otot tungkai, daya tahan otot tungkai, dan kelentukan otot tungkai.”

2) Aspek Teknik
Kemampuan dalam teknik dasar suatu cabang olahraga menggambarkan tingkat keterampilan dalam cabang olahraga tersebut. Indikator yang dapat diamati adalah penguasan teknik dasar cabang olahraganya. Seseorang dinyatakan terampil dalam suatu cabang olahraga, apabila ia dapat menguasai teknik-teknik dasar cabang olahraga tersebut dengan sempurna. Hal ini berarti aspek teknik meliputi keterampilan seseorang dalam suatu cabang olahraga.
Keterampilan diterjemahkan dari istilah skill yang dalam dunia olahraga ditandai dengan adanya aktivitas fisik yang bukan saja melibatkan otot-otot besar, melainkan juga melibatkan otot-otot halus dalam melakukan gerakan. Aktivitas keterampilan dalam olahraga berbeda-beda antara satu cabang olahraga dengan cabang olahraga lain.
Beberapa pendapat tentang keterampilan dikemukakan oleh para ahli, diantaranya, Davis (1995:231) mendefinisikan keterampilan sebagai, “Suatu kemampuan yang dipelajari untuk meningkatkan hasil sebelumnya dengan usaha maksimal.” Lutan (1988:94) menjelaskan, “Keterampilan dipandang sebagai satu perbuatan yang merupakan sebuah indikator dari tingkat kemahiran, juga dapat dinyatakan untuk menggambarkan tingkat kemahiran seseorang melaksanakan suatu tugas.” Gallahue (1989:408) mengemukakan:

Tipe keterampilan olahraga dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: 1) keterampilan eksternal (external paced skill), keterampilan ini melibatkan respon-respon lingkungan yang berubah-ubah sehingga sulit diprediksi, dan 2) keterampilan internal (internaly paced skill), keterampilan yang tidak terpengaruh oleh kondisi lingkungan dengan sasaran yang tetap.

Lutan (1988:96) menjelaskan, “Seseorang dapat dikatakan terampil atau mahir ditandai oleh kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu dalam kualitas yang tinggi (cepat atau cermat) dengan tingkat keajegan yang cukup mantap.”
Dalam proses pelatihan teknik perlu memperhatikan tuntutan teknis dari cabang olahraganya. Oleh karena cabang olahraga yang menjadi objek penelitian ini adalah olahraga renang, maka aspek-aspek teknis yang dilatih pun sesuai dengan tuntutan cabang olahraga renang itu sendiri, seperti teknik entry, pull, push, dan recovery.

3) Aspek Taktik
Dalam suatu pertandingan, atlet sering dihadapkan pada suatu kondisi yang menuntut atlet mengambil alternatif yang paling baik dalam menghadapi lawan, artinya atlet harus mampu mengatasi tekanan pertandingan dengan menerapkan suatu taktik agar lawan tidak dapat berbuat banyak dan tidak dapat melakukan serangan yang berbahaya. Taktik atau strategi tersebut didasarkan pada kemampuan lawan, kemampuan atlet, dan tujuan yang ingin dicapai. Tjiptono (1997:3) menjelaskan sebagai berikut: “1) Strategi dapat didefinisikan sebagai program untuk menentukan dan mencapai tujuan organisasi dan mengimplementasikan misinya, dan 2) didefinisikan sebagai pola tanggapan atau respon organisasi terhadap lingkungannya sepanjang waktu.”
Dalam proses pelatihan taktik perlu memperhatikan tuntutan strategi dari cabang olahraganya. Oleh karena cabang olahraga yang menjadi objek penelitian ini adalah olahraga renang, maka aspek-aspek strategis yang dilatih pun sesuai dengan tuntutan cabang olahraga renang itu sendiri, seperti kemampuan individual serta melakukan simulasi ataupun perlombaan baik dengan sesama anggota tim.
4) Aspek Mental
Aspek mental sering kurang mendapat perhatian dalam pelatihan, karena dianggap kurang berpengaruh dalam penampilan atlet. Padahal beberapa literatur menyatakan bahwa para ahli makin menyadari bahwa faktor non-fisik akan besar pengaruhnya terhadap prestasi atlet untuk dapat memenangkan pertandingan.
Pada umumnya kondisi psikologis atlet sebelum pertandingan cenderung labil, karena mereka dihadapkan pada “harapan untuk sukses” dan “ketakutan akan gagal”. Harapan dan ketakutan tersebut secara langsung akan mempengaruhi penampilan atlet. Setyobroto (1989:42) menjelaskan, “Apabila emosi atlet tergugah dengan hebat akan terjadi sesuatu gangguan terhadap fungsi-fungsi intelektualnya, yang berakibat penampilan atau permainan atlet menjadi kacau.”
Masalah-masalah psikologis yang sering dihadapi atlet terindikasi oleh perilaku yang berubah dari biasanya, seperti rasa cemas yang berlebihan (anxiety). Masalah kecemasan tersebut secara teoritis sering dihadapi oleh atlet sebelum dan saat pertandingan, bahkan merupakan salah satu penyebab kegagalan atlet/tim.
Dalam proses pelatihan mental perlu memperhatikan tuntutan psikologis dari cabang olahraganya. Oleh karena cabang olahraga yang menjadi objek penelitian ini adalah olahraga renang, maka aspek-aspek mental yang dilatih pun sesuai dengan tuntutan cabang olahraga renang itu sendiri, yaitu persaingan dalam menempuh jarak tertentu dalam waktu yang cepat, membutuhkan kerja keras, sehingga tuntutan ini sering menimbulkan kecemasan, kurang percaya diri, terlalu percaya diri, emosional dan sebagainya.


2. Prinsip-Prinsip Latihan
Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam rangka meningkatkan kemampuan dan prestasi atlet adalah penerapan prinsip-prinsip latihan dalam pelaksanaan program latihan. Hal ini disebabkan prinsip-prinsip latihan merupakan faktor yang mendasar dan perlu diperhatikan dalam pelaksanaan suatu program latihan. Harsono (1991:83) menyatakan:

Agar prestasi dapat meningkat, latihan harus berpedoman pada teori dan prinsip latihan. Tanpa berpedoman pada teori dan prinsip latihan yang benar, latihan seringkali menjurus ke praktek mala-latih (mal-practice) dan latihan yang tidak sistematis-metodis sehingga peningkatan prestasi sukar dicapai.

Prinsip latihan yang dimaksud dalam penelitian ini berdasar pada beberapa kajian, baik fisiologik, psikologik maupun pedagogik. Berikut ini akan dibahas secara makro mengenai prinsip-prinsip latihan yang mengacu dari beberapa sumber yaitu Harsono (1988), Setiawan (1990), Soekarman (1989) sebagai berikut:

a. Berdasarkan kajian Fisiologik
Kajian fisiologik dimaksudkan bahwa latihan harus dapat meningkatkan kemampuan kerja atau fungsi faal dari tubuh sehingga tubuh dapat bekerja secara efektif dan efisien. Prinsip-prinsip latihan yang berkaitan dengan aspek fisiologis diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Prinsip Pemanasan Tubuh (warming-up principle)
Pemanasan tubuh penting dilakukan sebelum berlatih. Tujuan pemanasan ialah untuk mempersiapkan fungsi organ tubuh guna menghadapi kegiatan yang lebih berat dalam hal ini adalah penyesuaian terhadap latihan inti.


2) Prinsip Beban Lebih (overload principle)
Sistem faaliah dalam tubuh pada umumnya mampu untuk menyesuaikan diri dengan beban kerja dan tantangan-tantangan yang lebih berat. Selama beban kerja yang diterima masih berada dalam batas-batas kemampuan manusia untuk mengatasinya dan tidak terlalu berat sehingga menimbulkan kelelahan yang berlebihan, selama itu pulalah proses perkembangan fisik maupun mental manusia masih mungkin, tanpa merugikannya. Jadi beban latihan yang diberikan kepada atlet haruslah cukup berat dan cukup bengis namun realistis yaitu sesuai dengan kemampuan atlet, serta harus dilakukan berulang kali dengan intensitas yang tinggi. Harsono (2004:9) menyatakan, “Beban latihan yang diberikan kepada atlet haruslah secara periodik dan progresif ditingkatkan.”

3) Prinsip Sistematis (systematic principle)
Latihan yang benar adalah latihan yang dimulai dari kegiatan yang mudah sampai kegiatan yang sulit, atau dari beban yang ringan sampai beban yang berat. Hal ini berkaitan dengan kesiapan fungsi faaliah tubuh yang membutuhkan penyesuaian terhadap beratnya beban yang diberikan dalam latihan. Dengan berlatih secara sistematis dan dilakukan berulang-ulang, maka organisasi-organisasi sistem persyarafan dan fisiologis akan menjadi bertambah baik, gerakan yang semula sukar akan menjadi gerakan yang otomatis dan reflektif.

4) Prinsip Intensitas (intensity principle)
Perubahan-perubahan fungsi fisiologis yang positif hanyalah mungkin apabila atlet dilatih melalui suatu program latihan yang intensif yang dilandaskan pada prinsip overload dimana secara progresif menambah beban kerja, jumlah pengulangan serta kadar intensitas dari pengulangan tersebut. Harsono (2004:11) menyatakan, “Intensitas yang kurang dari 60%-70% dari kemampuan maksimal atlet tidak akan terasa training effect-nya (dampak/manfaat latihannya).”

5) Prinsip Pulih Asal (recovery principle)
Harsono (2004:11) menyatakan, “Perkembangan atlet bergantung pada pemberian istirahat yang cukup seusai latihan agar regenerasi tubuh dan dampak latihan bisa dimaksimalkan.” Dalam hal ini atlet perlu mengembalikan kondisinya dari kelelahan akibat latihan dengan istirahat.

b. Berdasarkan kajian Psikologik
Kajian psikologik dimaksudkan bahwa latihan harus dapat meningkatkan kondisi mental atau kejiwaan atlet sehingga dapat bekerja secara efektif dan efisien dalam menghadapi suatu tekanan psikologik pertandingan. Prinsip-prinsip latihan yang berkaitan dengan aspek psikologik diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Prinsip Partisipasi Aktif
Prinsip ini mengisyaratkan bahwa atlet merupakan subjek yang paling menentukan tercapainya prestasi. Dalam hal ini keterlibatan atlet secara aktif dalam proses penetapan tujuan dan sasaran latihan bersama pelatih sangat dibutuhkan. Peran pelatih bagi atlet adalah membantu atlet mencapai tujuan dan sasaran latihan yang sudah ditetapkan. Hal ini berarti atlet itu sendiri mempunyai peranan yang menentukan terhadap pencapaian sasaran. Dengan kata lain atlet harus selalu aktif dalam setiap latihan dan menunjukkan keseriusannya untuk mencapai tujuan latihan.




2) Prinsip Variasi Latihan
Latihan dalam jangka waktu yang lama sering menimbulkan kejenuhan bagi atlet, apalagi program latihan yang dilaksanakan bersifat jangka panjang. Oleh karena itu, latihan harus dilaksanakan melalui berbagai macam variasi sehingga beban latihan akan terasa ringan dan menggembirakan. Apalagi variasi latihan yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan. Harsono (2004:11) menyatakan, “Untuk mencegah kebosanan berlatih, pelatih harus kreatif dan pandai menerapkan variasi-variasi dalam latihan.”

3) Prinsip Kesadaran
Prinsip ini didasarkan pada tujuan dan sasaran yang harus dicapai oleh atlet, baik dalam latihan maupun pertandingan. Dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, maka atlet harus memiliki kesadaran tentang kemampuan dirinya dan target yang harus dicapai. Oleh karena itu dalam penetapan tujuan dan sasaran harus melibatkan atlet sehingga terdapat kesesuaian antara kemampuan dan sasaran.

4) Prinsip Istirahat Mental
Adakalanya kelelahan seorang atlet lebih banyak disebabkan ketegangan mental dibandingkan dengan tingkat kelelahan secara fisik. Seorang atlet memanfaatkan istirahat setelah aktivitas untuk meringankan beban pikirannya dari latihan atau pertandingan. Selain istirahat sebaiknya atlet diberikan waktu berlibur untuk beberapa saat. Faktor ini bisa menjadi bagian penting dari proses pemulihan.

c. Berdasarkan kajian Pedagogik
Kajian pedagogik dimaksudkan bahwa latihan harus dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku ke arah yang lebih baik khususnya aspek kognitif. Prinsip-prinsip latihan yang berkaitan dengan aspek pedagogik diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Prinsip Perencanaan dan Penggunaan Sistem
Prinsip ini didasarkan pada pentingnya perencanaan dan sistematika pelaksanaan latihan, sehingga penilaian terhadap hasil kegiatan menjadi terukur dan teramati. Melalui perencanaan yang matang dengan pertimbangan berbagai faktor dan aspek-aspek yang akan mempengaruhi hasil latihan, maka pelaksanaan suatu program latihan relatif akan berjalan dengan lancar. Tugas dan beban latihan disusun melalui sistematika yang benar, yaitu dari hal yang sederhana sampai ke hal yang komplek atau dari latihan yang ringan sampai ke latihan yang berat. Prinsip ini juga menuntut bahwa perencanaan harus menyeluruh, seksama, dan sesuai dengan kebutuhan atlet.

2) Prinsip Pentahapan (periodisasi)
Prinsip ini didasarkan pada penetapan sasaran yang dilakukan secara bertahap mulai dari sasaran jangka pendek, sasaran antara dan sasaran jangka panjang. Melalui pembagian sasaran ini, maka perlu dilakukan pentahapan dalam latihan agar pelaksanaan program latihan dapat memenuhi target-target yang ditetapkan. Pentahapan program latihan biasanya meliputi masa persiapan umum, persiapan khusus, masa pra-pertandingan, pertandingan utama dan masa transisi. Harsono (2004:18) menyatakan, “Pentahapan adalah proses membagi-bagi program latihan tahunan dalam tahap-tahap latihan yang lebih kecil. Tujuannya adalah agar program jangka panjang bisa dikelola dalam segmen-segmen kecil sehingga kemungkinan untuk mencapai puncak prestasi di pertandingan utama tahun itu bisa terwujud.”

3. Norma-Norma Pembebanan
Norma-norma pembebanan latihan meliputi volume, intensitas, interval dan densitas. Adapun pembahasan mengenai norma-norma pembebanan adalah sebagai berikut:
a. Volume
Dalam suatu latihan biasanya berisi drill-drill atau bentuk-bentuk latihan. Isi latihan atau banyaknya tugas yang harus diselesaikan ini disebut volume latihan. Tentang hal ini oleh Chu (1989:13) dijelaskan, “Volume is the total work performed is single work at session or cycle”. Sedangkan mengenai pentingnya volume latihan oleh Bompa (1993:57) dikatakan, “As an athlete approaches the stage of high performance, the overall volume training becomes more important”. Hal ini mengisyaratkan bahwa setiap latihan harus memperhatikan volume latihan selain dari intensitas latihannya.

b. Intensitas
Intensitas latihan oleh Moeloek (1984:12) dijelaskan, “Intensitas latihan menyatakan beratnya latihan”. Kemudian Chu (1989:13) menyatakan, “Intensity is effort involved in performing a given task”. Jadi intensitas latihan adalah besarnya beban latihan yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu.
Untuk mengetahui suatu intensitas latihan atau pekerjaan adalah dengan mengukur denyut jantungnya. Cara mengukur intensitas ini oleh Harsono (1988:115) dijelaskan, “Intensitas latihan dapat diukur dengan berbagai cara, diantaranya mengukur denyut jantung (heart rate)”. Selanjutnya Katch dan McArdle yang dikutip oleh Harsono (1988:116) menjelaskan:

1. Intensitas latihan dapat diukur dengan cara menghitung denyut jantung/nadi dengan rumus: denyut nadi maksimum (DNM) = 220 – umur (dalam tahun). Jadi seseorang yang berumur 20 tahun, DNM-nya = 220 – 20 = 200.
2. Takaran intensitas latihan
a. Untuk olahraga prestasi: antara 80%-90% dari DNM. Jadi bagi atlet yang berumur 20 tahun tersebut takaran intensitas yang harus dicapainya dalam latihan adalah 80%-90% dari 200 = 160 sampai dengan 180 denyut nadi/menit.
b. Untuk olahraga kesehatan: antara 70%-85% daari DNM. Jadi untuk orang yang berumur 40 tahun yang berolahraga menjaga kesehatan dan kondisi fisik, takaran intensitas latihannya sebaiknya adalah 70%-85% kali (220 – 40), sama dengan 126 s/d 153 denyut nadi/menit.
Angka-angka 160 s/d 180 denyut nadi/menit dan 126 s/d 153 denyut nadi/menit menunjukan bahwa atlet yang berumur 20 tahun dan orang yang berumur 40 tahun tersebut berlatih dalam training sensitive zone, atau secara singkat biasanya disebut training zone.
3. Lamanya berlatih di dalam training zone:
a. Untuk olahraga prestasi: 45 – 120 menit
b. Untuk olahraga kesehatan: 20 – 30 menit


c. Interval
Masa pulih atau recovery dari setiap penyelesaian suatu tugas adalah hal yang perlu diperhatikan karena menyangkut kesiapan tubuh umumnya dan otot-otot khususnya untuk menerima beban tugas berikutnya. Mengenai masa pulih ini, Brittenham yang diterjemahkan oleh Soepadmo (1996:12) menjelaskan sebagai berikut:

Adaptasi fisik terhadap perkenaan terjadi pada saat istirahat, karena pada waktu itu tubuh membangun persiapan untuk gerakan berikutnya. Maka istirahat yang cukup akan memberikan hasil yang maksimal. Jika anda terlalu giat berlatih dan tidak memberikan kesempatan tubuh beristirahat diantara tiap sesi latihan, maka anda akan mengalami kelelahan atau bahkan kemunduran.



d. Densitas
Densitas merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kekerapan latihan dan merupakan frekuensi latihan yang dilakukan, diselingi waktu istirahat atau bisa disebut pula dengan kepadatan latihan, seperti 3 set @ renang jarak 25 m = 75 m, jadi kepadatannya adalah 75 m.

D. Hakikat Latihan Hipoksik dengan Metode Interval Intensif
Hipoksik merupakan suatu kondisi kekurangan oksigen. Hipoksik berasal dari kata “hipoxia” yang berarti penyaluran oksigen rendah ke jaringan tubuh. Jadi latihan hipoksik adalah suatu latihan yang mengkondisikan atlet untuk mengalami kekurangan oksigen.
Proses metode hipoksik secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut: ketika menarik nafas/menghisap lower-oxygen udara, otak bereaksi terhadap perubahan ini dan menginstruksikan badan untuk meningkatkan ventilasi berkenaan dengan paru-paru dan produksi sel darah merah. Sel darah merah mengirimkan oksigen kepada jaringan-jaringan yang tergabung dengan bahan gizi untuk menghasilkan energi.
Pelatihan hipoksik telah populer beberapa tahun terakhir di negara-negara maju. Penggunaannya berkaitan dengan upaya peningkatan kemampuan kerja otot dengan dukungan oksigen yang relatif kecil. Hasil penelitian yang dilakukan beberapa ahli seperti Hollmann dan Leisen (1973), Craig (1978) dan Dicker (1980) melaporkan bahwa pengurangan tingkat nafas akan mengurangi suplay oksigen dan sebagainya, yang akan meningkatkan kemampuan aerobik dan anaerobik.
Mengenai manfaat pelatihan hipoksik dijelaskan oleh Giriwijoyo, dkk. (2006:6) sebagai berikut:
- Mengefektifkan dan meningkatkan sistem cardio-pulmonary dan meningkatkan daya tahan dan kekuatan sampai dengan 40%.
- Pada otot spesifik yang dilatih dalam Hypoxics Room System, dapat meningkatkan penyerahan oksigen untuk daya tahan dan power ekstra
- Meningkatkan ventilasi berkenaan dengan paru-paru dan jumlah sel darah merah, menambah kesehatan secara menyeluruh
- Latihan hypoxic dapat mengurangi waktu latihan yang berharga sampai 50%
- Latihan hypoxic menjadikan sistem penyerahan oksigen ke dalam otot menjadi lebih efisien

Berkaitan dengan penelitian ini yaitu pelatihan renang hipoksik dengan metode interval intensif terhadap kemampuan dinamis aerobik, maka pelaksanaan program latihannya ditekankan pada pengurangan suplay oksigen pada setiap stroke, yaitu setiap 4 / 6 / 8 x stroke tahan nafas. Intensitas latihan sebesar 80 – 95%. Waktu istirahat 5 menit/repetisi dan 8 – 10 menit/set. Volume latihannya 500 meter – 900 meter.
Metode latihan interval adalah suatu metode latihan dimana jarak, waktu, istirahat, dan repetisi telah ditentukan, atau disebut juga dengan variabel-variabel latihan yang telah ditetapkan, atau suatu bentuk latihan yang diselingi dengan jarak istirahat yang telah ditetapkan.
Metode latihan interval awal mulanya banyak dilakukan oleh pelari-pelari jarak jauh. Adanya perkembangan ilmu pengetahuan yaitu diadakan penelitian dan percobaan, maka latihan interval memiliki keistimewaan yaitu perhatian yang besar pada faktor istirahat.
Proses istirahat mulai timbul setelah perubahan yang berhubungan dengan kelelahan mencapai suatu tingkatan tertentu. Istirahat terlalu pendek dapat menimbulkan kelelahan organisme yang kronis dan tidak mengembangkan fungsi organ tubuh yakni jantung, paru-paru, peredaran darah dan otot serta syaraf. Tetapi istirahat yang terlalu lama atau melampaui waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan dapat menghambat perkembangan organ tubuh tersebut.
Mengenai latihan dengan metode interval intensif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Intensitas latihan. Intensitas latihan ini antara 80% – 95%.
2. Volume latihan. Volume latihan ini tergantung dari tingkat intensitas latihan yang dilakukan, karena metode ini intensitasnya tinggi maka repetisinya sedikit.
3. Istirahat. Intensitas yang dilakukan dalam latihan ini tinggi, maka istirahatnya harus panjang.
4. Lamanya latihan. Lamanya beban latihan relatif pendek karena intensitas yang tinggi. Untuk cabang olahraga renang dapat diimplementasikan sesuai dengan waktu tempuh 15 – 75 detik terhadap jarak tempuh.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan hipoksik dengan metode interval intensif merupakan suatu metode yang menekankan pada pengurangan suplay oksigen pada saat beraktivitas latihan, sehingga dengan pengeluaran energi yang relatif kecil diharapkan memperoleh hasil yang baik-baiknya.




E. Hakikat Kemampuan Dinamis Aerobik
Dinamis sering diartikan sebagai suatu keadaan yang bergerak, sedangkan aerobik diartikan sebagai penggunaan oksigen. Jadi kemampuan dinamis aerobik dapat diartikan sebagai suatu kemampuan bergerak dengan penggunaan oksigen tertentu. Kaitannya dengan penelitian ini adalah kemampuan perenang dalam menggunakan oksigen sekecil mungkin dan dapat bergerak dengan cepat sampai jarak tertentu tanpa mengalami kelelahan yang berarti.
Aktivitas yang termasuk dalam kategori aerobik biasanya dilakukan dalam waktu lama, energi yang digunakan adalah glukogen otot dan lemak. Metabolisme yang terjadi lebih dominan pada proses pembakaran lemak dalam jumlah besar. Oleh karena waktu yang digunakan dalam aktivitas aerobik relatif lama, maka dibutuhkan daya tahan otot dan umum untuk mendukung aktivitas tersebut.
Dalam olahraga yang dimaksud dengan daya tahan adalah kemampuan melawan kelelahan pada beban kerja otot yang berlangsung lama dan kemampuan untuk pulih kembali dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Mengenai daya tahan, Setiawan (1991:97) menyatakan, “Daya tahan adalah kemampuan seseorang untuk melakukan kerja dalam waktu yang relatif lama.” Kemudian Ateng (1992:66) menyatakan: “Daya tahan respirasi-cardiovascular mengacu pada kemampuan seseorang untuk meneruskan kontaksi (submaksimum) yang berlanjut lama, yang menggunakan sejumlah kelompok otot lengan dengan jangka waktu dan intensitas yang memerlukan dukungan peredaran dan pernapasan.”



Sedangkan Harsono (1988:177) menjelaskan tentang daya tahan otot sebagai berikut:

Daya tahan otot mengacu kepada suatu kelompok otot yang mampu untuk melakukan kontraksi yang berturut-turut (misalnya push-up atau sit-up), atau mampu mempertahankan suatu kontraksi statis untuk waktu yang lama (misalnya menggantung pada restok, menahan suatu beban dengan lengan lurus ke samping untuk waktu yang lama).

Berkenaan dengan daya tahan, Giriwijoyo, dkk. (2006:6) menjelaskan, “Daya tahan merupakan parameter yang menentukan untuk kesiapan latihan pada umumnya, disamping kemampuan motorik lainnya.” Hallmam dalam Giriwijoyo, dkk. (2006:6) menjelaskan sebagai berikut:

Daya tahan bergantung pada:
1. Jumlah otot yang terlibat pada kegiatan tersebut (dari banyaknya otot yang telibat dibedakan daya tahan local dan daya tahan umum)
2. Kemungkinan penyediaan energi (dari perbedaan penyediaan energi dibedakan atas daya tahan aerob dan anaerob)
3. Dari bentuk kerja otot itu sendiri (dari bentuk kerja otot yang isometris dan isotonis dibedakan daya tahan dinamis dan daya tahan statis).

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan dinamis aerobik berkaitan dengan daya tahan tubuh dalam mengatasi kelelahan dan pulih kembali dalam waktu yang singkat. Semakin baik kemampuan dinamis aerobik seseorang maka semakin baik pula daya tahan orang tersebut.

F. Anggapan Dasar
Penelitian ilmiah membutuhkan suatu anggapan dasar, karena dengan anggapan dasar seorang peneliti memiliki landasan dan keyakinan dalam menetapkan dan melaksanakan kegiatannya. Surakhmad (1998:107) menjelaskan, “Anggapan dasar atau postulat adalah sebuah titik tolak penelitian yang kebenarannya diterima oleh penyelidik.” Kemudian Arikunto (2002:65) mengemukakan, “Setiap penyelidik dapat merumuskan postulat yang berbeda.”
Dalam penelitian ini, asumsi yang dijadikan landasan untuk menetapkan suatu hipotesis adalah sebagai berikut:
1. Latihan hipoksik mengkondisikan atlet untuk melaksanakan tugas geraknya secara efektif dan efisien. Maksudnya adalah dengan penggunaan energi dan kerja otot relatif kecil dapat melakukan tugas gerak dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini dapat mencapai jarak renangan tertentu dalam waktu yang singkat dan penggunaan energi yang minimal.
2. Metode interval intensif merupakan metode latihan yang menekankan pada beban tugas yang relatif berat, sehingga dengan pengkondisian jarak tempuh renangan yang lebih jauh dari jarak tes atau pertandingan, maka akan membiasakan atlet untuk mencapai jarak tertentu dengan sesingkat-singkatnya.

Permainan Bola Basket

Kata dasar dari permainan adalah main. Kata main menurut Poerwadarminta (1984:620) berarti, “Perbuatan untuk menyenangkan hati (yang dilak...